Rabu, 25 Juni 2014

45. MENJUAL AIR SUNGAI

Burung Berkicau – The Song of The Bird 45.

image (7)
Khotbah sang Guru pada hari itu hanya terdiri dari satu kalimat penuh teka-teki.
Ia tersenyum lemah dan mulai berkata:
‘Satu-satunya yang aku kerjakan di sini hanyalah duduk di pinggir sungai dan menjual air sungai.’
Dan khotbahnya sudah selesai.

Seorang penjual air mendirikan warung di pinggir sungai, dan ribuan orang datang berduyun-duyun untuk membeli air darinya. Penjualannya laku semata-mata karena mereka tidak melihat sungai. Bila nanti mereka melihatnya, usahanya akan gulung tikar.
Seorang pengkhotbah amat berhasil. Ribuan orang datang untuk belajar kebijaksanaan darinya. Setelah kebijaksanaan diperoleh, mereka berhenti mendengarkan khotbahnya. Dan si pengkhotbah tersenyum puas. Sebab, ia sudah mencapai tujuannya, yaitu mundur secepatnya. Sebab, di dalam hatinya ia menyadari, bahwa apa yang ia berikan kepada orang-orang hanyalah apa yang sebetulnya sudah mereka punyai, asal mereka mau membuka mata dan melihat. ‘Jikalau Aku tidak pergi,’ kata Jesus kepada murid-muridNya, ‘Roh Kudus tidak akan datang.’

Jikalah Anda berhenti menjual air, barangkali orang mendapat kesempatan yang lebih baik untuk melihat sungai.

44. BERSERU SUPAYA TETAP SELAMAT – DAN YAKIN


Burung Berkicau – The Song of The Bird 44.


Pada suatu hari seorang nabi tiba di sebuah kota untuk menobatkan para penduduknya. Mula-mula orang kota mendengarkan khotbah-khotbahnya, tetapi lama-kelamaan mereka tidak datang lagi, sampai tidak ada segelintir orang pun yang mendengarkan kata-kata sang nabi.
Pada suatu hari seorang musafir bertanya kepada nabi: ‘Mengapa Anda masih saja terus berkhotbah? Apakah Anda tidak tahu, bahwa tugas Anda itu sia-sia saja?’
Jawab sang nabi:
‘Pada mulanya aku berharap dapat mengubah mereka. Kini aku masih terus berseru, agar supaya mereka jangan mengubah aku!’


43. TELUR

Burung Berkicau – The Song of The Bird 43.


Nasruddin mencari nafkah dengan menjual telur. Seseorang datang di warungnya dan berkata: ‘Coba terka apa yang kugenggam ini?’
‘Sebutkan ciri-cirinya!’ kata Nasruddin.
“Baik! Bentuknya sama seperti telur, ukurannya sebesar telur. Kelihatannya seperti telur, rasanya seperti telur dan baunya seperti telur. Isinya berwarna kuning dan putih, cair sebelum direbus dan menjadi kental bila dimasak. Dan asalnya dari ayam betina …’
‘Nah, aku tahu!’ kata Nasruddin. ‘Pasti semacam kue!’

Seorang ahli mempunyai keistimewaan ini: tidak menyadari yang sudah jelas. Imam Agung punya keistimewaan: tidak menyadari kedatangan Mesias.

42. BAYI BERHENTI MENANGIS

Burung Berkicau – The Song of The Bird 42.


Seorang mengatakan bahwa ia menjadi tidak beriman karena alasan praktis saja. Sebab, kalau ia sungguh-sungguh jujur, ia terpaksa mengakui, bahwa sebetulnya ia tidak percaya akan hal-hal yang diajarkan agamanya. Memang adanya Tuhan memecahkan banyak masalah, tetapi juga menimbulkan masalah baru yang sama banyaknya. Kehidupan sesudah kematian adalah harapan yang sia-sia. Kitab Suci dan tradisi tidak saja menguntungkan tetapi juga merugikan. Semuanya ini dibuat manusia untuk menanggulangi kesepian dan keputusasaan yang dirasakan dalam hidupnya.
Paling baik ia dibiarkan saja. Diam saja. Mungkin ia sedang mengalami tahap pertumbuhan dan penemuan baru.
Pada suatu ketika sang Guru ditanya oleh muridnya :
‘Buddha itu apa?’
Ia menjawab :
‘Budi, itulah Buddha.’
Lain hari ia ditanya soal yang sama dan ia menjawab :
‘Tidak ada budi. Tidak ada Buddha.’
Murid menyangkal :
‘Tetapi, dulu Anda berkata : Budi, itulah Buddha.’
Kata Sang Guru :
‘Itu dimaksudkan agar si bayi berhenti menangis. Bila tangisnya sudah berhenti, aku berkata: Tidak ada budi. Tidak ada Buddha.’

Mungkin si bayi telah berhenti menangis dan sudah siap menerima kebenaran. Maka lebih baik ia dibiarkan sendiri saja.
Tetapi ketika ia mulai mengajarkan ateisme yang baru ditemukannya kepada orang lain yang tidak tahu-menahu, ia terpaksa dibatasi: ‘Pada suatu waktu, pada masa pra-ilmiah, orang menyembah matahari. Lalu tibalah jaman ilmu pengetahuan, dan manusia pun menyadari, bahwa matahari itu bukan dewa, bahkan pribadi pun bukan. Akhirnya datanglah jaman mistik dan Santo Fransiskus Asisi menyebut matahari itu saudaranya; ia bahkan berbicara dengannya.’
‘Kepercayaanmu dulu seperti kepercayaan seorang bayi yang ketakutan. Sekarang engkau sudah dewasa dan tidak takut lagi, maka engkau kehilangan kepercayaanmu dahulu. Moga-moga engkau berkembang sampai pada suatu ketika menjadi seorang mistik dan menemukan imanmu kembali.’
Iman tidak pernah akan hilang, selama orang mengejar kebenaran tanpa takut. Tetapi bermacam-macam kepercayaan yang mengungkapkan iman untuk sementara waktu dapat dibayangi oleh awan gelap. Namun demikian, tidak lama lagi akan menjadi cerah kembali.

41. PANAH BERACUN

Burung Berkicau – The Song of The Bird 41.


Seorang rahib menghadap Buddha dan berkata: ‘Apakah jiwa orang saleh luput dari maut?’
Seperti biasanya Buddha tidak menjawab.
Tetapi rahib itu mendesak. Setiap hari ia mengulangi pertanyaan yang sama. Setiap hari pula ia tidak dijawab. Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan mengancam mau meninggalkan pertapaan, kalau pertanyaan mahapenting ini tidak dijawab. Sebab, untuk apa ia mengorbankan segala sesuatu untuk hidup membiara, kalau jiwa orang saleh tidak akan luput dari maut?
Lalu Buddha dalam belaskasihannya berkata:
‘Engkau bagaikan seorang yang kena anak panah beracun dan hampir mati. Sanak keluarganya mendatangkan seorang dokter. Tetapi orang sakit itu tidak mau anak panah dicabut atau menerima pengobatan apapun terhadap lukanya jika tiga pertanyaan pokok ini belum terjawab: Pertama, orang yang memanahnya kulitnya putih atau hitam? Kedua, ia berbadan tinggi atau pendek? Dan ketiga, ia seorang brahmana atau paria? Sebelum jawaban atas ketiganya diberikan, orang yang sekarat itu menolak diobati.
Rahib tadi tetap tinggal dalam biara.

Orang lebih senang berbicara tentang jalan daripada menjalaninya, membicarakan khasiat obat daripada meminumnya.

40. RAKSASA DI SUNGAI

Burung Berkicau – The Song of The Bird 40.


Imam di desa terganggu doanya karena aank-anak ramai bermain-main di sebelah rumahnya. Untuk menghalau anak-anak itu ia berseru: ‘Hai, ada raksasa mengerikan di sungai di bawah sana. Bergegaslah ke sana! Nanti kamu akan melihatnya sedang menyemburkan api lewat lubang hidungnya.’
Sebentar saja semua orang di kampung sudah mendengar tentang munculnya raksasa itu. Mereka cepat-cepat berlari menuju sungai. Ketika imam melihat hal ini, ia ikut bergabung bersama banyak orang. Sambil berlari sepanjang jalan menuju ke sungai yang enam kilometer jauhnya, ia kembali berpikir: ‘Memang benar, aku sendiri yang membuat cerita. Tetapi, barangkali benar juga, … siapa tahu.’

Jauh lebih mudah percaya kepada dewa-dewa berhala ciptaan kita sendiri, kalau kita berhasil meyakinkan orang lain, bahwa dewa-dewa memang ada.

39. SOP DARI SOP AYAM


Burung Berkicau – The Song of The Bird 39.


Mullah Nasruddin dikunjungi oleh saudaranya yang menghadiahinya seekor ayam. Nasruddin memasak ayam itu, lalu menyuguhkannya kepada tamunya.
Kemudian satu demi satu mulai berdatanganlah tamu-tamu. Masing-masing berkata, bahwa ia sahabat dari sahabat dari ‘orang yang menghadiahkan ayam kepada Anda’. Setiap orang tentu saja mengharapkan dijamu dan diterima dengan baik atas dasar ayam tadi.
Akhirnya Mullah tidak dapat tahan lagi. Pada suatu hari seorang tak dikenal datang lagi kerumahnya dan berkata: ‘Saya ini sahabat dari sahabat saudara Anda, yang dulu pernah memberi Anda seekor ayam.’ Dan seperti yang lain-lain, ia terus duduk, sambil mengharapkan dijamu.
Nasruddin menempatkan sepinggan air mendidih di hadapannya. ‘Apa ini?’ tanya tamu itu.
Kata Mullah:
‘Ini adalah sop dari sop ayam yang dihadiahkan kepadaku oleh saudaraku.’
Kita kadang-kadang mendengar tentang mereka yang menjadi murid dari murid dari murid dari seorang yang pernah mengalami kehadiran Allah secara pribadi.
Mustahil mencium dengan perantaraan seorang utusan.


38. CERITA ORANG SUFI

Burung Berkicau – The Song of The Bird 38.


Seseorang yang dianggap sudah mati diusung oleh teman-temannya ke kuburan. Ketika peti sudah hampir dimasukkan dalam liang lahat, orang itu tiba-tiba hidup kembali dan mulai memukul-mukul tutup peti.
Peti dibuka. Orang itu bangkit. ‘Apa yang kalian lakukan?’ katanya kepada orang banyak yang berkumpul di sekelilingnya. ‘Aku ini hidup. Aku tidak mati.’
Kata-katanya ditanggapi dengan suasana diam penuh keheranan. Akhirnya salah seorang pelayat berkata: ‘Saudara, para dokter bersama dengan para imam menyatakan bahwa engkau sudah mati. Orang-orang sepandai itu tidak mungkin salah.’
Maka tutup peti disekrup lagi dan ia dimakamkan sebagaimana mestinya.

37. PARA AHLI

Burung Berkicau – The Song of The Bird 37.


Hidup rohaniku seluruhnya diambilalih oleh para ahli. Kalau aku ingin belajar berdoa, aku pergi kepada seorang pembimbing rohani. Untuk menemukan kehendak Tuhan bagiku, aku pergi kepada seorang pembimbing retret. Untuk mendalami Kitab Suciku, aku pergi kepada seorang ahli Kitab Suci. Untuk mengetahui, apakah aku telah berdosa atau tidak, aku pergi kepada ahli teologi moral. Dan untuk mendapatkan pengampunan atas dosa-dosaku, aku mengaku kepada seorang imam.
Seorang raja pribumi di kepulauan Pasifik Selatan mengadakan perjamuan untuk menyambut seorang tamu istimewa dari Barat. Ketika tiba waktunya untuk menghormati sang tamu, sri raja tetap duduk di lantai saja; sedangkan seorang ahli pidato, yang memang disiapkan untuk maksud ini, menyanjung-nyanjung sang tamu dengan kata-kata hebat.
Seuasai pidato yang berkobar-kobat itu sang tamu bangkit berdiri, untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada raja. Sri raja menahannya dengan isyarat. ‘Jangan bangun,’katanya. ‘saya sudah menyiapkan seorang ahli pidato bagi Anda juga. Di pulau kami, kami beranggapan, bahwa bicara di muka umum tidak bolah dilalkukan olah orang-orang amatir.’

Aku bertanya-tanya, apakah Tuhan akan berkenan, kalau aku sendiri menjadi lebih amatir dalam hubunganku dengan Dia?

36. ISTERI SEORANG BUTA


Burung Berkicau – The Song of The Bird 36.



Mengajar orang yang belum matang dapat sungguh-sungguh berbahaya:
Seorang anak perempuan yang berwajah amat jelek dikawinkan dengan seorang buta, karena tidak ada orang lain yang mau meminangnya.
Ketika seorang dokter bersedia untuk menyembuhkan mata si buta, maka mertuanya, bapak si gadis, tidak mengijinkannya. Sebab, ia takut jangan-jangan si buta akan menceraikan anaknya.

Tentang cerita ini Sa’di berkata: “Suami seorang perempuan jelek sebaiknya tetap buta saja.’