Kelelahan
emosional banyak terjadi di tengah-tengah kita. Banyak dari kita tidak sadar
ketika hal ini menimpa kita, karena secara fisik hal ini tidak mudah kita
kenali. Biasanya hal ini berkaitan dengan adanya masalah yang amat sulit dan
menyusahkan, mungkin sebuah tekanan untuk memberikan hasil, atau kita merasa
terjebak karena rutinitas yang memaksa kita selalu seperti berjalan atau bahkan
harus berlari di atas ban berjalan.
Dan terlebih lagi kecepatannya semakin
meningkat. Ada satu prinsip dasar untuk diterapkan dan terus diterapkan selain berkecil
hati, kita selalu diajar oleh orang tua kita untuk tidak menyerah. Ketekunan –
adalah sebuah motto yang sering kita dengar. Hadapilah masalah dengan cara lain
jika metode yang Anda gunakan tidak berhasil. Dan jika pendekatan baru tersebut
gagal, dekatilah dengan cara lain hingga Anda benar–benar menemukan kunci bagi
situasinya. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu," Tulisan Sha'ul ha Tarsi kepada sahabatnya di Yunani - 50 M.
___
Selamat Dari Kecelakaan yang Mengerikan
Jerry Gibree
selamat dari kecelakaan yang mengancam jiwa. Tulisan ini membantunya bergantung
di saat mengalami masa–masa suramnya. Selama masa penyembuhannya, Jerry Gibree
mulai disiplin membaca setiap hari The Valley of Vision. Bentuk puisi sederhana
yang menyentuh jiwa dalam masa–masa gelap hidupnya, di saat segala sesuatu
sepertinya tanpa harapan.
•· Biarkanlah saya belajar dari paradoks:
Bahwa jalan ke
bawah adalah jalan naik,
Bahwa direndahkan
adalah untuk menjadi tinggi,
Bahwa hati
yang patah adalah hati yang disembuhkan,
Bahwa jiwa
yang penuh kekecewaan adalah jiwa yang mudah menemukan sukacita,
Bahwa jiwa
yang penuh sesal adalah jiwa yang menang,
Bahwa tidak
memiliki apa–apa adalah memiliki segalanya,
Bahwa dengan
menanggung penderitaan adalah kesempatan untuk memakai mahkota,
Bahwa dengan
memberi adalah menerima,
Bahwa terperosok
dalam jurang adalah tempat pengharapan.
___
Keindahan Hidup – Rini, Cirebon
Sambil
agak berlari dan menyibak rambut, aku mendekati orang–orang yang tidak sabar
itu, yang memenuhi restoran tempatku bekerja, karena di luar hujan sangat
lebat, dan tiba-tiba ada orang berteriak, “Pelayan, tolong bon untuk saya!” ...
“Bisa
minta tolong, menunya!”
Bahkan antrian orang menunggu
meja kosong pun sangat panjang ... Aku sudah lelah, kepalaku pusing, perut
sudah terasa lapar dan masih dua jam lagi dari waktu istirahat ... Walau
begitu, aku sungguh bersyukur dapat pekerjaan di ‘coffee shop’ terkenal di kota
ini, walaupun sedikit pendidikan dan ketrampilan yang kumiliki ... sungguh
merupakan berkat Tuhan, sebagai seorang ibu yang tiba–tiba sendirian dengan
anak kecil yang harus kuurus ...
Sebagai
karyawan baru aku ditempatkan di ruang belakang untuk melalui masa percobaan, yang
katanya memang semua karyawan baru harus mulai dari ruang belakang itu. Isinya
empat meja besar yang biasanya dipakai untuk rombongan atau keluarga besar.
Setelah satu
tahun bekerja, aku masih saja terjebak di ruang belakang itu, walaupun sudah
ada beberapa karyawan baru... Tetapi dengan melihat pemandangan kereta api yang
kadang lewat bisa jadi hiburan. Dengan pemandangan itu, ada perasaan damai,
tetapi ingin sekali aku bekerja di ruang depan, di mana yang datang lebih banyak
anak–anak muda dan para eksekutif kantor.
Sekali lagi
aku melangkah ke ruang belakang dengan langkah yang tidak terlalu bersemangat,
kulihat di sudut ruangan ada wanita duduk dengan kelihatan murung. Usianya
sekitar 70 tahun, mengenakan kerudung, keriput pada wajah dan tangannya
mengingatkanku pada ibuku yang masih saja mencuci dan mengurus pekerjaan rumah.
Di wajahnya tampak kesedihan.
Kuhampiri dia
dan menyapanya, sambil menggumam kenapa temanku tidak membersihkan meja ini dari
piring–piring dan cangkir–cangkir kotor ini, seakan–akan berkata ... “Ini
bagianmu Rin!”...
“Halo ibu,
selamat pagi!” sapaku, “Silakan kalau mau memesan,” sambil aku berikan daftar
menunya. “Oh, tidak usah,” jawab ibu itu. “Saya hanya pesan teh panas saja.”
Kemudian, aku
mengantarkan kepada ibu itu dan memastikan tehnya panas. “Silakan bu,”
kemudian aku juga menyampaikan kepadanya agar ibu itu kembali lagi saat kami
tidak terlalu sibuk, sehingga aku bisa menemaninya.
Kemudian suara
di sekeliling menuntut perhatianku.
“Mbak, mana
kopi saya!”
“Saya sudah
pesan sejak tadi, kok belum datang ya...!”
Beberapa saat
kemudian ketika aku menoleh ke belakang,
wanita itu sudah pergi, aku tak dapat tidak memikirkan apakah yang telah
membuat ibu tadi sedemikian sedih.
Tiba–tiba aku
mendengar namaku dipanggil dan melihat wanita tua tadi sedang berusaha menerobos
kerumunan orang–orang yang sedang antri.
“Saya
mempunyai sesuatu untukmu,” ia berkata, sambil mengulurkan tangannya.
Kuletakkan
piring–piring kotor yang sedang aku bawa ke meja dan segera menghampirinya.
Ia tidak
mengetahui kalau kebanyakan pelayan di sini menertawakan orang–orang yang hanya
meninggalkan uang receh sebagai tip. Kemudian aku berpikir mengenai betapa
jauhnya ia harus berjalan berdesakan melalui kerumunan orang hanya untuk
meninggalkan kasihnya berupa tip untukku, dan betapa mungkin ia tidak mampu.
Aku tersenyum
dan berkata,”Ibu sebenarnya tidak perlu melakukan ini.” Ibu itu menjawab,”Saya
tahu ini tidak banyak mbak, tetapi saya ingin mbak tahu kalau saya menghargai
perhatian dan keramahan mbak ...!”
Entah mengapa
aku merasa ucapan “terima kasih” ku yang
pendek tidaklah cukup, makanya kemudian aku menambahkan “semoga Tuhan
memberkati Ibu!”
Aku tidak menduga,
ia mencengkeram tanganku dan mulai menangis, “Terima kasih Tuhan,” ia terisak.
“Mbak tahu,
betapa saya butuh untuk mengetahui bahwa ada seseorang di dekat saya.” Sambil
meninggalkan piring–piring di mana aku meletakkannya tadi, aku menuntunnya ke
sebuah kursi dan berkata,”Katakan kepada saya, apa masalahnya... dan apakah ada
yang bisa saya bantu Bu?” Ia menggeleng dan menjawab, “Tidak ada orang yang
dapat membantu. Saya membawa suamiku ke kota untuk berobat. Usianya 75 tahun. Kami kira ia
mengidap hernia tetapi ternyata dokter memberitahu kami bahwa suami saya
mengidap kanker dan saya tidak tahu apakah ia akan berhasil melalui operasi
ini. Kami telah menikah lebih dari 50 tahun. Saya tidak mengenal siapa pun di
sini untuk diajak bicara dan di kota ini terasa seperti tempat yang dingin dan
tidak bersahabat. Saya mencoba berdoa, tetapi tidak menemukan jawaban. ”Kemudian
dengan terbata–bata ia menambahkan,”Saya hampir tidak masuk ke sini karena
kelihatannya mahal. Tetapi saya membutuhkan untuk keluar sebentar dari rumah sakit. Sewaktu saya melihat keluar
jendela di belakang sana, saya mencoba berdoa, dan memohon kepada Tuhan untuk
menunjukkan kepada saya satu orang saja sehingga saya tahu bahwa saya tidak
sendirian dan bahwa Tuhan mendengarkan doa saya.” Dengan memeluknya aku
berkata,”Siapa nama suami Ibu, saya akan berdoa untuk Anda berdua setiap hari
selama seminggu ini,” ia tersenyum dan menjawab,”iya tolong.” Kemudian ia menyebutkan
nama suaminya dan pergi untuk melanjutkan perjalanannya.
Aku kembali
bekerja dengan tenaga seperti diperbaharui, tidak merasa lelah lagi. Tidak ada
teriakan lagi untuk keterlambatan kopi dari pelanggan. Tuhan telah merencanakan
pertemuan kami. Aku merasa bahagia dapat menawarkan doaku. Dan aku berharap Ibu
tadi menyadari, bahwa ia telah memberiku jauh lebih banyak dari pada sekedar
uang receh.
Hari itu
begitu indah.