Jumat, 18 April 2014

35. UBAHLAH KITAB SUCI!

Burung Berkicau – The Song of the Bird 35.

Seorang terpelajar menghadap Buddha dan berkata:
‘Hal-hal yang tuan ajarkan tidak terdapat dalam Kitab Suci!’
‘Kalau begitu, masukkanlah dalam Kitab Suci,’ kata Buddha.

Orang itu malu sejenak, lalu berkata lagi: ‘Bolehkah saya memberanikan diri mengemukakan, bahwa dari hal-hal yang Tuan ajarkan ada yang jelas-jelas bertentangan dengan Kitab Suci?’
‘Kalau begitu, ubahlah Kitab Suci,’ kata Buddha.

Sebuah usul diajukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, agar semua Kitab Suci dari semua agama di seluruh dunia ditinjau kembali. Semua ayat yang mengarah kepada intoleransi, kekejaman atau fanatisme, harus dihapus. Segala sesuatu yang mengurangi martabat dan kesejahteraan manusia, harus dihilangkan.
Ketika diketahui, bahwa usul itu diajukan oleh Jesus Kristus sendiri, para wartawan bergegas menyerbu tempat kediamanNya  untuk minta penjelasan lebih lanjut.
PenjelasanNya sederhana dan singkat saja: ‘Kitab Suci, seperti hari Sabat, adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk Kitab Suci.’

34. BIJI GANDUM DARI MAKAM RAJA MESIR

Burung Berkicau – The Song of the Bird 34.
Segenggam biji gandum ditemukan dalam makam salah seorang raja Mesir kuno. Lima ribu tahun umurnya. Rupanya ada orang yang menanam gamdum itu dan menyiraminya. Bayangkan, biji gandum itu dapat hidup dan tumbuh sesudah tersimpan selama lima ribu tahun!
Jika orang memperoleh penerangan budi, kata-katanya menjadi seperti benih, penuh daya kehidupan. Dan kata-kata itu dapat tetap tinggal berupa benih selama ber abad-abad, sampai saatnya ditaburkan dalam hati yang terbuka dan subur.
Dulu aku mengira, bahwa kata-kata Kitab Suci itu mati dan kering. Sekarang aku mengerti bahwa sesungguhnya kata-kata itu penuh dengan daya kehidupan. Justru hatikulah yang membatu dan mati. Bagamana mungkin sesuatu dapat tumbuh di dalamnya?



33. PANDANGAN MATANYA

Burung Berkicau – The Song of the Bird 33.

Komandan tentara pendudukan berkata kepada kepala desa di pegunungan: ‘Kami yakin, kamu menyembunyikan seorang pengkhianat di kampungmu. Jika kamu tidak menyerahkannya kepada kami, dengan segala cara kami akan menyiksamu bersama dengan penduduk desamu,’
Kampung itu memang menyembunyikan seseorang yang tampaknya baik, tidak bersalah serta disayang semua orang. Tetapi apa daya kepala desa itu, kalau keselamatan seluruh kampungnya terancam?
Musyawarah berhari-hari di balai desa ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Akhirnya, kepala desa membicarakan masalah itu dengan pastor di desa. Semalam suntuk mereka berdua mencari-cari pesan dalam Kitab Suci dan akhirnya menemukan pemecahan. Ada nas yang mengatakan:’Lebih baik satu orang mati daripada seluruh bangsa.’
Maka kepala desa menyerahkan orang yang tidak bersalah itu kepada tentara pendudukan, sambil memohon supaya ia diampuni. Namun orang itu justru berkata bahwa tidak ada yang perlu dimohonkan ampun. Ia tidak ingin membahayakan desa. Maka ia pun disiksa dengan kejam, sampai-sampai teriakannya terdengar di seluruh desa. Akhirnya ia dibunuh.
Dua puluh tahun kemudian seorang nabi melewati desa itu dan langsung pergi menemui kepala desa. Katanya: ‘Apa yang telah engkau lakukan? Orang itu ditunjuk oleh Tuhan menjadi penyelamat negeri ini. Dan ia telah kau serahkan untuk disiksa dan dibunuh.’
‘Tidak ada jalan lain!’ kata kepala desa membela diri. ‘Pastor bersama saya telah mencari pesan dalam Kitab Suci dan berbuat sesuai dengan pesan itu.’
‘Itulah kesalahannmu!’ kata sang nabi. ‘Engkau mencari-cari dalam Kitab Suci. Seharusnya engkau juga mencari jawaban dalam matanya.’

32. SANG GURU TIDAK TAHU

Burung Berkicau – The Song of the Bird 32.

Seorang pencari kebijaksanaan menghampiri seorang murid dan bertanya dengan penuh hormat: ‘Apa makna hidup manusia?’
Murid itu lalu mempelajari tulisan Gurunya dan dengan yakin menjawab dengan kata-kata sang Guru sendiri: ‘Hidup manusia tidak lain daripada ungkapan kelimpahan Tuhan.’
Ketika pencari kebijaksanaan itu bertemu dengan sang Guru sendiri, ia mengajukan pertanyaan yang sama. Sang Guru menjawab: ‘Aku tidak tahu.’

Pencari kebijaksanaan berkata: ‘Aku tidak tahu.’ Hal itu menandakan kejujuran. Sang Guru berkata: ‘Aku tidak tahu.’ Hal itu menandakan pemikiran mistik, yang mengetahui segala sesuatu dengan cara tidak mengetahuinya. Murid berkata: ‘Aku tahu.’ Hal itu menandakan kebodohan dalam bentuk pengetahuan pinjaman.

31. MENGAPA ORANG-ORANG YANG BAIK MATI?

Burung Berkicau – The Song of the Bird 31.

Seorang pendeta di pedesaan mengunjungi rumah seorang nenek tua anggota jemaatnya. Sambil minum kopi, ia menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh nenek itu.
‘Mengapa Tuhan begitu sering mengirimkan wabah kepada kita?’ tanya si nenek.
‘Ya, ya, ya …,’ jawab pendeta, ‘kadang-kadang orang menjadi begitu jahat, hingga perlu disingkirkan. Maka, Yang Mahabaik mengijinkan datangnya wabah.’
‘Tetapi,’ tukas si nenek, ‘mengapa begitu banyak orang baik juga disingkirkan bersama yang jahat?’
‘Orang-orang baik itu dipanggil untuk menjadi saksi,’ pendeta menjelaskan. ‘Sebab, Tuhan ingin menjalankan pengadilan yang adil bagi setiap jiwa.’

Samasekali tidak ada sesuatu pun yang tidak dapat dijelaskan oleh pemegang kepercayaan yang kaku.

30. TULANG UNTUK MENGUJI IMAN KITA

Burung Berkicau – The Song of the Bird 30.

Seorang cendikiawan Kristen berpendapat bahwa Kitab Suci harus dianggap benar sampai hal yang sekecil-kecilnya. Pada suatu ketika ia disapa oleh seorang teman sejawatnya: ‘Menurut Kitab Suci, bumi itu diciptakan kira-kira lima ribu tahun yang lalu. Tetapi kami telah menggali tulang-tulang untuk membuktikan bahwa kehidupan sudah ada di planet ini sejak ratusan ribu tahun yang lampau.’ Langsung ditanggapi oleh si cendikiawan: ‘Ketika Tuhan menciptakan bumi lima ribu tahun yang lalu, ia sengaja menanam tulang-tulang itu di bumi untuk menguji apakah kita lebih percaya pada pernyataan ilmiah atau pada FirmanNya Yang Kudus.’

Terbukti lagi bahwa kepercayaan yang kaku dapat memutarbalikkan kebenaran.

29. NASRUDDIN SUDAH MATI

Burung Berkicau – The Song of the Bird 29.
Pada suatu hari Nasruddin menyuarakan pikirannya dengan nada filosofis: ‘Siapakah yang dapat menjelaskan makna kehidupan dan kematian?’ Isterinya, yang sedang sibuk di dapur mendengar pertanyaan itu lalu berkata: ‘Dasar laki-laki – tidak praktis! Orang bodoh pun tahu, jika ujung-ujung jari seseorang sudah kaku dan dingin, ia sudah mati.’
Nasruddin terkesan oleh kebijaksanaan isterinya yang praktis itu. Sekali peristiwa, pada musim dingin ia berjalan-jalan di atas salju dan merasakan tangan dan kakinya mati rasa serta kaku karena kedinginan. ‘Aku ternyata sudah mati,’ pikirnya. Lalu muncul pikiran berikutnya : ‘Mengapa aku masih berkeliaran di jalan, jika sudah mati? Aku harus berbaring seperti layaknya semua orang mati.’ Nah, ia pun berbaring persis seperti orang mati.
Sejam kemudian lewatlah beberapa pejalan kaki. Mereka menemukannya terbaring di tepi jalan. Mereka mulai berdikusi, apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Nasruddin ingin berteriak sekuat tenaga dan berkata: ‘Hai orang-orang bodoh, tidakkah kamu lihat bahwa aku sudah mati? Tidak tahukah kamu, bahwa ujung-ujung tangan dan kakiku dingin dan kaku?’ Tetapi ia menyadari bahwa orang yang mati tidak pantas masih bicara. Maka ia pun diam.
Akhirnya mereka memutuskan bahwa orang yang terbaring di atas salju itu pasti sudah mati. Maka mereka mengusung jenasahnya ke kuburan. Belum begitu jauh berjalan, mereka sampai di persimpangan jalan. Mulailah mereka bertengkar lagi mengenai jalan mana yang menuju ke kuburan. Nasruddin menahan diri untuk diam selama ia dapat. Tetapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berkata: “Maaf, saudara- saudara. Jalan ke kuburan adalah jalan di sebelah kiri saudara. Saya tahu, orang mati diandaikan tidak berbicara, tetapi untuk kali ini saja saya membuat kekecualian. Maaf, saya berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata lagi.’
Jika kebenaran terbentur pada kepercayaan yang kaku, niscaya kebenaran itu akan kalah.


28. SETAN DAN TEMANNYA

Burung Berkicau – The Song of the Bird 28.

Pada suatu hari setan berjalan-jalan dengan seorang temannya. Mereka melihat seseorang membungkuk dan memungut sesuatu dari jalan.
‘Apa yang ditemukan orang itu?’ tanya si teman.
‘Sekeping kebenaran,’ jawab setan.
‘Itu tidak merisaukanmu?’ tanya si teman.
‘Tidak,’ jawab setan. ‘Saya akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama.’

Kepercayaan agama merupakan suatu tanda, yang menunjukkan jalan kepada kebenaran. Orang yang kuat-kuat berpegang pada penunjuk jalan, tidak dapat berjalan terus menuju kebenaran. Sebab, ia mengira seakan-akan sudah memilikinya.

27. APA KATAMU?

Burung Berkicau – The Song of the Bird 27.

Seorang guru menanamkan kebijaksanaan dalam hati muridnya, bukan di atas halaman buku. Si murid mungkin mengendapkan kebijaksanaan itu selama tiga puluh atau empat puluh tahun di dalam hatinnya,sampai ia menemukan seseorang yang siap sedia untuk menerimanya. Itulah tradisi Zen.
Guru Zen Mu-nan menyadari bahwa ia hanya mempunyai satu orang penerus, yaitu muridnya Shoju. Pada suatu hari ia mengundangnya dan berkata: ‘Sekarang aku sudah tua, Shoju, dan hanya engkaulah yang akan meneruskan ajaranku. Terimalah kitab ini, yang telah diwariskan selama tujuh turunan dari guru ke guru. Aku sendiri menambah beberapa catatan di dalamnya, yang kiranya akan berguna bagimu. Simpanlah kitab ini, sebagai tanda bahwa engkau penerusku.’
‘Lebih baik kitab itu Bapak simpan sendiri saja,’ kata Shoju. ‘Saya menerima ajaran Zen dari Bapak secara lisan, maka saya lebih senang meneruskannya secara lisan pula.’
‘Aku tahu, aku tahu,’ kata Mu-nan dengan sabar. ‘Namun kitab ini sudah disimpan selama tujuh turunan dan mungkin ada gunanya bagimu. Maka, terimalah dan simpanlah baik-baik.’
Keduanya kebetulan berbicara di dekat perapian. Begitu diterima Shoju, kitab itu langsung dilemparkannya ke dalam api. Ia tidak tertarik pada kata-kata tertulis.
Mu-nan yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang tidak pernah marah, berteriak: ‘Kau melakukan perbuatan biadab!’
Shoju juga berteriak: ‘Bapak mengucapkan kata-kata biadab!’

Sang Guru berbicara dengan penuh wibawa tentang apa yang sudah dialaminya sendiri. Ia tidak mengutip satu buku pun.

26. SATU NADA KEBIJAKSANAAN

Burung Berkicau – The Song of the Bird 26.
Tidak ada yang tahu, apa yang terjadi dengan Kakua setelah ia pergi dari hadapan Tenno. Ia menghilang begitu saja. Inilah kisahnya:
Kakua adalah orang Jepang pertama yang belajar Zen di negara Cina. Ia samasekali tidak pernah bepergian. Ia hanya bermeditasi tanpa henti. Jika orang sekali waktu berhasil berjumpa dengannya dan memintanya untuk mengajar, ia akan mengucapkan beberapa patah kata, kemudian pindah ke bagian hutan yang lain, sehingga ia semakin sulit ditemukan.
Ketika Kakua kembali ke negeri Jepang, Tenno mendengar tentang dia dan memintanya mengajarkan Zen demi kepentingan dirinya dan seluruh isi istana. Kakua berdiri di hadapan Tenno tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lalu ia mengeluarkan sebatang seruling dari lipatan jubahnya dan meniup sebuah nada yang pendek sekali. Ia membungkuk dalam kepada Tenno dan menghilang.
Konfusius berkata:’Jangan mengajar orang yang sudah matang: sia-sialah bagi orangnya. Jangan mengajar orang yang tidak matang: sia-sialah kata-katanya.’


25. DERWIS YANG KESAKITAN

Burung Berkicau – The Song of the Bird 25.

Seorang derwis* duduk tenang di pinggir sungai. Seseorang yang lewat dan melihat tengkuknya yang terbuka, tidak dapat menahan godaan untuk menamparnya sampai berbunyi gemertak. Orang itu amat senang dengan bunyi gemertak itu. Tetapi sang derwis menyeringai kesakitan dan bangkit untuk membalas.
‘Tunggu sebentar!’ kata si penyerang. ‘Kau boleh membalas kalau mau. Tetapi jawablah dulu pertanyaan yang timbul dalam benakku: Suara gemertak tadi muncul karena tanganku atau karena tengkukmu?’
Tukas sang derwis: ‘Jawablah sendiri! Karena kesakitan aku tidak mau berteori. Engkau dapat berbuat demikian, karena tidak merasakan apa yang kurasakan.’

Bila mengalami Yang Ilahi, minat untuk berteori berkurang sekali.

*derwis (Parsi): rahib Islam yang hidup dengan cara minta-minta.

24. THOMAS AQUINAS BERHENTI MENULIS

Burung Berkicau – The Song of the Bird 24.

Diceritakan bahwa Santo Thomas Aquinas, salah seorang teolog yang paling bijak di dunia, tiba-tiba berhenti menulis menjelang akhir hidupnya. Waktu sekretarisnya mengeluh bahwa karyanya belumlah selesai, Thomas menjawab: Frater* Reginald, ketika aku merayakan Misa beberapa bulan yang lalu, aku mengalami Yang Ilahi. Pada hari itu aku samasekali kehilangan minat untuk menulis. Sebenarnya, semua yang telah kutulis tentang Allah bagiku tampaknya seperti jerami balaka.’
Memang seharusnya demikian jika seorang cendikiawan menjadi seorang mistik.
Ketika seorang mistik turun dari gunung, ia disongsong oleh seorang ateis yang berkata mencemooh: ‘Apa yang kaubawa dari taman kebahagiaan yang kaukunjungi?’
Orang mistik itu menjawab: ‘Aku sungguh berniat mengisi jubahku dengan bunga-bunga. Dan bila kembali pada kawan-kawanku, aku bermaksud menghadiahi mereka beberapa kuntum bunga. Tetapi ketika aku di sana, keharuman taman itu membuatku mabuk, sehingga aku menanggalkan jubahku.’
Para guru Zen mengatakan hal itu lebih padat dan tepat: ‘Orang yang tahu, tidak banyak bicara. Orang yang banyak bicara, tidak tahu.’

*Frater (Lat.): saudara, atau panggilan untuk biarawan yang tidak/ belum ditahbiskan

23. PENJELAJAH

Burung Berkicau – The Song of the Bird 23.
Penjelajah itu pulang ke kampung halamannya. Penduduk ingin tahu segala sesuatu tentang sungai Amazone. Tetapi bagaimana mungkin mengungkapkan dalam kata-kata perasaan yang memenuhi hatinya, ketika ia melihat bunga-bunga begitu indah memukau dan mendengar seribu satu suara penghuni rimba di waktu malam? Bagaimana menjelaskan perasaan hatinya, ketika menghadapi binatang buas atau ketika mendayung perahu kecilnya melewati arus sungai yang sangat berbahaya?
Ia berkata,’Pergi dan temukanlah sendiri! Tidak ada yang dapat menggantikan pertaruhan nyawa dan pengalaman pribadi.’ Namun sebagai pedoman bagi mereka, ia menggambarkan peta sungai Amazone.
Mereka berpegang pada peta itu. Peta itu dibingkai dan diletakkan di kantor kotapraja. Mereka masing-masing menyalin peta, menganggap dirinya seorang ahli tentang sungai Amazone. Sebab, bukankah ia tahu setiap kelokan dan pusaran sungai, berapa lebar dan dalamnya, di mana air mengalir deras dan di mana terdapat air terjun?
Penjelajah itu selama hidupnya menyesalkan peta yang telah dibuatnya. Mungkin lebih baik jika dulu dia tidak menggambarkan apa-apa.

Katanya Buddha tidak pernah mau dipancing untuk berbicara tentang Tuhan.
Rupanya ia menyadari bahaya-bahaya menggambar peta bagi para cendikiawan di masa mendatang.


22. RUMUSAN

Burung Berkicau – The Song of the Bird 22.

Seorang mistik pulang dari padang gurun. ‘Katakanlah, seperti apakah Tuhan itu!’ tanya orang-orang mendesak.
Tetapi bagaimana mungkin mengungkapkan dalam kata-kata apa yang dialaminya dalam lubuk hatinya yang paling dalam? Mungkinkah mengungkapkan Yang Mahabesar dalam kata-kata manusiawi?
Akhirnya ia memberi mereka sebuah rumusan – begitu kurang tepat dan serampangan! – dengan harapan bahwa beberapa dari antara mereka mungkin akan tertarik untuk mencari sendiri apa yang dialaminya.
Mereka berpegang kuat pada rumusan itu. Mereka mengangkatnya menjadi naskah suci. Mereka memaksakannya kepada setiap orang sebagai kepercayaan suci. Mereka bersusah payah menyebarkannya di negeri-negeri asing. Bahkan ada yang mengorbankan nyawanya demi rumusan itu.
Orang mistik itu pun menjadi sedih. Mungkin lebih baik, seandainya dulu dia tidak pernah berbicara.

21. PEMBUAT ETIKET

Burung Berkicau – The Song of the Bird 21.
Hidup itu bagaikan sebotol anggur keras. Ada yang puas membaca etiket yang tercantum pada botolnya. Ada yang mencicipi isinya.
Pada suatu ketika Buddha menunjukkan setangkai bunga kepada murid-muridnya dan meminta agar setiap orang menyatakan pendapatnya tentang bunga itu.
Mereka mengamati bunga itu selama beberapa saat dengan diam. Ada yang mengungkapkan ajaran falsafah tentang bunga. Ada yang menggubah puisi. Ada pula yang membuat perumpamaan. Semua berusaha saling mengalahkan dengan uraian yang semakin dalam.

Pembuat etiket!
Mahakashyap mengamati bunga itu, lalu tersenyum tanpa berkata apa-apa. Hanya dialah yang telah melihatnya.

Seandainya aku dapat menikmati seekor burung,
setangkai bunga,
sebatang pohon,
wajah seorang manusia!

Tetapi sayang, aku tak punya waktu! Aku terlalu sibuk membaca semakin banyak etiket dan malah masih kutambah dengan etiket-etiket buatanku sendiri. Padahal satu kali pun aku belum pernah mabuk karena anggur di dalam botol.


20. PERTANYAAN

Burung Berkicau – The Song of the Bird 20.
Tanya rahib:
‘Semua gunung dan sungai ini, bumi dan bintang-bintang – dari manakah asalnya?
Kata Guru:
‘Pertanyaanmu dari manakah asalnya?’
Lihatlah ke dalam!


19. MENCARI DI TEMPAT YANG SALAH

Burung Berkicau – The Song of the Bird 19.
 
Seorang tetangga melihat Nasruddin berjongkok sambil mencari sesuatu.
‘Apa yang sedang Anda cari, Mullah?
‘Kunciku yang hilang.’
Dua-duanya terus berjongkok mencari kunci yang hilang itu. Sebentar kemudian tetangga itu bertanya: ‘Di mana kuncimu yang hilang?’
‘Di rumah.’
‘Astaga! Lantas mengapa Anda mencari di sini?’

‘Karena di sini lebih terang.’

Apa gunanya mencari Tuhan di tempat-tempat suci, kalau Ia sudah tidak bersemayam lagi di dalam hatiku?

18. BERHALA MANUSIA

Burung Berkicau – The Song of the Bird 18.

Suatu ceritera kuno dari India:
Sebuah kapal karam dan terdampar di tepi pantai Srilangka. Di situ memerintahlah Vibhisana, raja para raksasa. Pedagang, pemilik kamal itu dibawa menghadap raja. Ketika melihatnya Vibhisana menjadi anat bersukacita dan berkata: ‘Bukan main! Ia sungguh-sungguh menyerupai patung Ramaku. Bentuknya sama-sama seperti manusia!’ Maka ia menyuruh abdinya untuk menganakan busana mewah dan ratna mutu manikam kepada pedagang itu dan memuliakannya.

Ramakhisna, seoranq mistik* Hindu, berkata: Ketika waktu pertama kali mendengar cerita ini, aku mengalami
kegembiraan yang tak tergambarkan. Jikalau patung tanah liat dapat membantu untuk memuliakan Tuhan,
menqapa manusia tidak?

*mistik : yang berusaha memahami rahasia (mustikos, Yun.) Allah dengan cara hidup kontemplatif

Senin, 14 April 2014

17. LONCENG-LONCENG KUIL

Burung Berkicau - The Song of the Bird 17.


Sebuah kuil dibangun di suatu pulau, tiga kilometer jauhnya dari patai. Dalam kuil itu terdapat seribu lonceng. Lonceng-lonceng yang besar, lonceng-lonceng yang kecil, semuanya dibuat oleh pengrajin-pengrajin terbaik di dunia. Setiap kali angin bertiup atau taufan menderu, semua lonceng kuil itus erentak berbunyi dan secara terpadu
membangun sebuah simponi. Hati setiap orang yang mendengarkannya terpesona.


Tetapi selama berabad-abad pulau itu tenggelam di dalam laut; demikian juga kuil bersama dengan lonceng-loncengNya. Menurut cerita turun-temurun lonceng-lonceng itu masih terus berbunyi, tanpa henti, dan dapat didengar oleh setiap orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tergerak oleh cerita ini, seorang
pemuda menempuh perjalanan sejauh beribu-ribu kilometer. Tekadnya telah bulat untuk mendengarkan bunyi lonceng-lonceng itu. Berhari-hari ia duduk di pantai, berhadapan dengan tempat di mana kuil itu pernah berdiri, dan mendengarkan - mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi yang didengarnya hanyalah suara gelombang laut
yang memecah di tepi pantai. Ia berusaha mati-matian untuk menyisihkan suara gelombang itu supaya dapat mendengar bunyi lonceng. Namun sia-sia. Suara laut rupanya memenuhi alam raya.


Ia bertahan sampan berminggu-minggu. Ketika semangatnya mengendor, ia mendengarkan orang tua-tua di kampung. Dengan terharu mereka menceritakan kisah seribu lonceng dan kisah tentang mereka yang telah mendengarnya. Dengan demikian ia semakin yakin bahwa kisah itu memang benar. Dan semangatnya berkobar lagi,
apabila mendengar kata-kata mereka ...  tetapi kemudian ia kecewa lagi, kalau usahanya selama berminggu-minggu ternyata tidak menghasilkan apa-apa.


Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri usahanya. Barangkali ia tidak ditakdirkan menjadi salah seorang yang beruntung dapat mendengar bunyi lonceng-lonceng kuil itu. Mungkin juga legenda itu hanya omong kosong saja. Lebih baik pulang saja dan mengakui kegagalan, demikian pikirnya. Pada hari terakhir ia duduk di pantai pada
tempat yang paling disayanginya. Ia berpamitan kepada laut, langit, angin serta pohon-pohon kelapa. Ia berbaring di atas pasir, memandang langit, mendengarkan suara laut. Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepadanya. Dan ia pun menemukan suara yang Iembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.

Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya! Dentang bunyi satu lonceng disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ... dan akhirnya seribu lonceng dari kuil itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.

Jika engkau ingin mendengar lonceng-lonceng kuil, dengarkanlah suara laut.
Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan jangan menolaknya, jangan memikirkannya. Pandanglah saja.


16. KESUCIAN PADA SAAT SEKARANG

Burung Berkicau - The Song of the Bird 16.

Buddha pernah ditanya: 'Siapakah yang disebut orang suci?'  Jawabnya: 'Setiap jam terbagi atas sejumlah detik
tertentu, dan setiap detik ada bagian-bagiannya lagi. Barang siapa mampu memberi perhatian penuh pada setiap bagian detik itu, sungguh pantas disebut orang suci.

Seorang prajurit jepang ditangkap oleh musuhnya dan dimasukkan ke dalam penjara. Semalaman ia tidak dapat tidur,
karena yakin bahwa keesokan harinya ia akan disiksa dengan kejam. Tiba-tiba kata Guru Zen-nya terlintas dalam
ingatan. Hari esok bukanlah kenyataan. Satu-satunya kenyataan adalah saat sekarang ini.
Maka ia kembali pada saat sekarang -dan tertidur lelap.

Orang yang tidak dikuasai oleh masa depan bagaikan kawanan burung di angkasa dan rumpun bunga bakung
di Padang. Ia tidak kuatir akan hari esok. Segalanya adalah hari ini. Sungguh, dia itulah orang suci!

15. KESADARAN TAK KUNJUNG HENTI

Burung Berkicau - The Song of the Bird 15.


Tidak ada seorang muzid Zen pun yang berani mengajar, sebelum ia pernah hidup bersama Gurunya paling sedikit sepuluh tahun lamanya.
Tenno, sesudah berguru selama sepuluh tahun, menjadi seorang pengajar. Pada suatu hari ia berkunjung kepada Guru Nan-in. Waktu itu hari hujan, maka Tenno memakai bakiak dan membawa payung.
Ketika Tenno masuk, Nan-in bertanya kepadanya: 'Engkau meninggalkan bakiak dan payungmu di depan pintu, bukan? Ingatkah engkau, payungmu kau Ietakkan di sebelah kanan bakiak atau di sebelah kirinya?
Karena tidak dapat menjawab, Tenno menjadi bingung. Ia menyadari bahwa ia belum mampu membina kesadaran tak kunjung henti. Maka ia menjadi murid Nan-in dan belajar selama sepuluh tahun lagi untuk mencapai kesadaran tak kunjung henti.

Orang yang mempunyai kesadaran tak kunjung henti adalah orang yang memberikan perhatian penuh pada setiap saat: Dia sungguh seorang Guru.

14. RUMPUN BAMBU


Burung Berkicau – The Song of the Bird 14.


Choko, anjingku, duduk dengan penuh perhatian. Telinganya tegak, ekornya mengibas tegang dan matanya memandang tajam ke atas pohon. Ia mengamati gerak – gerik seekor kera. Hanya satu yang menguasai seluruh kesadarannya: kera. Dan karena ia tidak mempunyai akal budi, tidak ada pikiran apapun yang mengganggu pusat perhatiannya. Tidak ada pikiran tentang apa yang akan dimakannya nanti malam, adakah yang nanti dapat dimakan atau di mana ia akan tidur. Setahuku, Choko melakukan sesuatu yang paling dekat dengan kontemplasi.
Anda sendiri mungkin pernah mengalami hal seperti itu, misalnya ketika Anda terpukau memperhatikan seekor
anak kucing bermain-main. Inilah rumusan kontemplasi yang sama baiknya dengan rumusan-rumusan lain yang
kukenal: memberi perhatian penuh pada saat sekarang ini!
Sungguh suatu tugas yang berat: Lepaskan semua pikiran tentang masa mendatang, lepaskan semua pikiran tentang masa silam – pokoknya, lepaskan semua pemikiran, titik! Lalu, berilah perhatian penuh pada saat sekarang ini. Dan kontemplasi pun akan terjadi!
Setelah berlatih selama bertahun-tahun, seorang murid mohon kepada Gurunya untuk memberinya penerangan budi. Sang Guru membawanya menuju serumpun bambu, dan berkata kepadanya: ‘Lihatlah bambu itu, begitu
tingginya! Lihatlah yang Iainnya di sana, begitu pendeknya! Pada waktu itu juga si murid mendapatkan penerangan budi.
Diceritakan, bahwa dalam usahanya mencapai penerangan budi Buddha mengikuti setiap aliran kehidupan rohani, setiap bentuk ulah tapa dan setiap cara penguasaan diri yang terdapat di India pada waktu itu. Semuanya sia-sia. Akhirnya pada suatu hari, ia duduk di bawah pohon bodhi, dan ia mendapat penerangan budi. Diceritakannya rahasia penerangan budi itu kepada murid-muridnya. Tetapi rupanya kata-katanya amat membingungkan mereka yang belum mendapatkan tuntunan, khususnya mereka yang percaya kepada pemikiran: Bila kamu menarik nafas panjang, hai para rahib, hendaklah kamu sadar, bahwa kamu menarik nafas panjang. Dan bila kamu menarik nafas pendek, sadarilah sepenuhnya bahwa kamu menarik nafas pendek. Dan bila kamu menarik nafas sedang, hai para rahib, sadarilah bahwa kamu menarik nafas sedang. Kesadaran. Perhatian. Keasyikan. Lain tidak.

Tenggelam dalam keasyikan seperti ini terdapat pada anak-anak kecil. Mereka begitu mudah masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Selasa, 08 April 2014

13. AKU MEMOTONG KAYU



Burung Berkicau – The Song of the Bird 13.


Ketika seorang guru Zen mencapai penerangan budi, ia menulis baris-baris berikut ini untuk memperingatinya:
‘Wahai, keajaiban yang mengagumkan: Aku memotong kayu! Aku menimba air dari sumur!’
Bagi kebanyakan orang, tidak ada sesuatu yang mengagumkan dalam perbuatan sehari-hari seperti menimba air dari sumur atau memotong kayu. Sesudah penerangan budi sebetulnya tidak ada sesuatu pun yang berubah.
Segala sesuatu tetap sama. Hanya saat itu hatimu penuh rasa kagum. Pohon masih tetap pohon. Orang-orang masih tetap sama seperti dulu, demikian juga engkau. Kehidupan berjalan terus, tiada bedanya. Mungkin kamu masih pemurung atau pemarah, penuh pertimbangan atau gegabah, sama seperti sebelumnya. Tetapi ada satu perbedaan besar: Sekarang semuanya, itu kau lihat dengan mata yang berbeda. Engkau semakin, terlepas dari semuanya. Dan hatimu penuh dengan rasa kagum.
Inilah inti dari kontemplasi*: ada rasa kagum.
Kontemplasi berbeda dengan ekstase,** karena ekstase membuat orang mengasingkan diri. Seorang kontemplatif yang telah mendapat penerangan budi tetap akan, memotong kayu atau menimba air dari sumur. Kontemplasi berbeda dengan menikmati keindahan, karena menikmati keindahan (sebuah lukisan atau matahan terbenam) menimbulkan kepuasan estetis,*** sedangkan kontemplasi menimbulkan rasa kagum – entah apa yang dilihat, matahari terbenam atau sebongkah batu saja.
Inilah keistimewaan yang terdapat pada anak kecil: Sering ia merasa kagum. Maka selayaknya ia masuk ke dalam Kerajaan Surga.

* kontemplasi (Lat.) : salah sebuah metode berdoa dengan mengamati penuh perhatian peristiwa atau obyek yang direnungkan
** ekstase (Yun.) : keadaan terpesona, sehingga pada saat itu Iupa segala-galanya
*** estetis (Yun.) : yang berkaitan dengan nilai keindahan



12. ENGKAU MENDENGAR BURUNG BERKICAU


Burung Berkicau – The Song of the Bird 12.



Orang Hindu memperkembangkan suatu gambaran yang indah mengenai hubungan antara Tuhan dan ciptaanNya. Tuhan ‘menarikan’ ciptaanNya. Ia adalah sang Sang Penari dan ciptaan adalah tarianNya. Suatu tarian berbeda dengan seorang penari, tetapi tidak bisa ada jika yang menarikannya juga tidak ada. Engkau tidak dapat membungkus tarian itu dan membawanya pulang, jika engkau menyenanginya. Begitu gerak penari terhenti, tariannya pun tiada lagi.
Dalam usahanya mencari Tuhan manusia terlalu banyak berpikir, terlalu banyak merenung, terlalu banyak berbicara. Bahkan ketika memandang tarian yang kita sebut ciptaan, ia terus-menerus berpikir, berbicara dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain, merenung, menelaah dan berfilsafat. Kata-kata, kata-kata, kata-kata belaka. Suara-suara, suara-suara, suara-suara belaka.
Diam dan lihatlah tarian itu. Hanya melihat saja: sebuah bintang, sekuntum bunga, sehelai daun layu, seekor burung, sebongkah batu …  Satu lambaian tarian saja sudah cukup. Lihatlah. Dengarlah. Hiruplah. Sentuhlah. Nikmatilah. Dan kiranya tak lama kemudian engkau akan menjumpaiNya, Sang Penari sendiri.

Keluhan seorang murid kepada Guru Zen-nya yang selalu diulang-ulang adalah: ‘Bapak menyembunyikan rahasia terdalam ilmu Zen dariku.’ Dan ia tidak mau percaya kalau sang Guru menyangkal keluhannya.

Pada suatu hari sang Guru mengajaknya berjalan-jalan menyusuri bukit. Waktu itu mereka mendengar seekor burung berkicau.
‘Apakah engkau tadi mendengar burung berkicau?’ tanya sang Guru.
‘Ya,’ jawab si mund.
‘Nah, sekarang engkau tahu, bahwa aku tidak menyembunyikan sesuatu pun darimu.’
‘Ya,’ kata si murid.

Seandainya engkau sungguh-sungguh pernah mendengarkan kicauan seekor burung, pernah memandang sebatang pohon … engkau sudah mengerti — mengatasi segala perkataan dan pemikiran.
Apa katamu tadi? Engkau telah mendengar puluhan burung berkicau dan melihat ratusan batang pohon? Apakah yang engkau lihat itu sungguh sebatang pohon atau hanya ‘pohon-pohon’? Jika engkau memandang sebatang pohon tetapi hanya melihat sebatang pohon, sebenarnya engkau belum melihat pohon itu. Jika engkau memandang pohon dan melihat keajaiban, nah, barulah engkau – akhirnya – melihat pohon! Pernahkah hatimu dipenuhi rasa kagum yang tak terhingga ketika mendengar seekor burung berkicau?


11. IKAN KECIL




Burung Berkicau - The Song of the Bird 11.


‘Maaf, kawan,’ kata seekor ikan laut kepada seekor ikan yang lain. ‘Anda lebih tua dan lebih berpengalaman dari pada saya. Di manakah saya dapat menemukan laut? Saya sudah mencarinya di mana-mana, tetapi sia-sia saja!’


‘Laut,’ kata ikan yang lebih tua, ‘adalah tempat engkau berenang sekarang ini.’
‘Ha? Ini hanya air saja! Yang kucari adalah laut’,’ sangkal ikan yang muda. Dengan perasaan sangat kecewa ia pergi mencarinya di tempat lain.
Ia datang menghadap sang Guru dengan jubah sannyasi*. Ia pun berbicara dalam bahasa sanyasi: ‘Sudah bertahun-tahun lamanya aku mencari Tuhan. Telah kutinggalkan rumahku dan telah kucari Dia di mana pun Dia berada. Kata orang, Dia ada di puncak gunung, di tengah-tengah padang gurun, dalam keheningan biara-biara dan di dalam gubuk-gubuk kaum miskin.’
‘Apakah engkau telah menemukanNya?’ tanya sang Guru.
Aku menipu diri, aku pendusta, kalau aku menjawab ‘Ya’. Belum, aku belum menemukanNya. Bapak sudah?
Apa yang dikatakan sang Guru kepadanya? Cahaya keemasan matahari senja menembus celah-celah kamar. Ratusan burung gereja beterbangan dari sebuah pohon beringin di luar sambil berkicau riang.  Samar-samar terdengar deru kendaraan di jalan raya. Seekor nyamuk berdengung di dekat telinga, memberi pertanda siap menggigit … Namun demikian, orang itu masih tetap duduk tepekur dan berkata, bahwa ia belum menemukan Tuhan dan masih mencari-cariNya.
Sesudah menunggu sejenak,’ia pun meninggalkan Sang Guru dengan perasaan kecewa. Ia pergi mencariNya di tempat lain.
* * *
Ikan kecil, berhentilah mencari! Tidak ada yang perlu dicari. Heninglah sebentar, bukalah matamu dan lihatlah! Engkau tak mungkin lagi keliru.

* Sanyasi = seorang Hindu yang telah meninggalkan segala urusan dunia (sanyasa, Hindu) untuk hanya mencari Yang-Ilahi saja


10. KEROHANIAN SEJATI

Burung Berkicau – The Song of the Bird 10.


Sang Guru ditanya: ‘Apakah kerohanian itu?’
Jawabnya: ‘Kerohanian yang sejati adalah kerohanian yang berhasil membuat orang melakukan perubahan hati.’
‘Tetapi kalau saya memakai cara lama yang diwariskan para Guru terdahulu, bukankah itu kerohanian juga?’

‘Bukan kerohanian kalau tidak berfungsi mengubah dirimu. Selimut sudah bukan selimut lagi kalau tidak menghangatkan tubuhmu.’
‘Jadi, kerohanian itu berubah?’
‘Manusia berubah, demikian pula kebutuhannya. Maka apa yang dulu dianggap kerohanian suatu ketika bukan kerohanian lagi. Apa yang disebut kerohanian tidak lain daripada cerita tentang berbagai metode masa lampau.’ Potonglah pakaian sesuai dengan ukuran pemakainya. Jangan memotong orang sesuai dengan pakaiannya.