Jumat, 18 April 2014

29. NASRUDDIN SUDAH MATI

Burung Berkicau – The Song of the Bird 29.
Pada suatu hari Nasruddin menyuarakan pikirannya dengan nada filosofis: ‘Siapakah yang dapat menjelaskan makna kehidupan dan kematian?’ Isterinya, yang sedang sibuk di dapur mendengar pertanyaan itu lalu berkata: ‘Dasar laki-laki – tidak praktis! Orang bodoh pun tahu, jika ujung-ujung jari seseorang sudah kaku dan dingin, ia sudah mati.’
Nasruddin terkesan oleh kebijaksanaan isterinya yang praktis itu. Sekali peristiwa, pada musim dingin ia berjalan-jalan di atas salju dan merasakan tangan dan kakinya mati rasa serta kaku karena kedinginan. ‘Aku ternyata sudah mati,’ pikirnya. Lalu muncul pikiran berikutnya : ‘Mengapa aku masih berkeliaran di jalan, jika sudah mati? Aku harus berbaring seperti layaknya semua orang mati.’ Nah, ia pun berbaring persis seperti orang mati.
Sejam kemudian lewatlah beberapa pejalan kaki. Mereka menemukannya terbaring di tepi jalan. Mereka mulai berdikusi, apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Nasruddin ingin berteriak sekuat tenaga dan berkata: ‘Hai orang-orang bodoh, tidakkah kamu lihat bahwa aku sudah mati? Tidak tahukah kamu, bahwa ujung-ujung tangan dan kakiku dingin dan kaku?’ Tetapi ia menyadari bahwa orang yang mati tidak pantas masih bicara. Maka ia pun diam.
Akhirnya mereka memutuskan bahwa orang yang terbaring di atas salju itu pasti sudah mati. Maka mereka mengusung jenasahnya ke kuburan. Belum begitu jauh berjalan, mereka sampai di persimpangan jalan. Mulailah mereka bertengkar lagi mengenai jalan mana yang menuju ke kuburan. Nasruddin menahan diri untuk diam selama ia dapat. Tetapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berkata: “Maaf, saudara- saudara. Jalan ke kuburan adalah jalan di sebelah kiri saudara. Saya tahu, orang mati diandaikan tidak berbicara, tetapi untuk kali ini saja saya membuat kekecualian. Maaf, saya berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata lagi.’
Jika kebenaran terbentur pada kepercayaan yang kaku, niscaya kebenaran itu akan kalah.