Selasa, 12 Agustus 2014

SEPI


(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
         
          Beberapa tahun lalu, saya pernah tinggal di sebuah biara (±  tahun 2002). Di biara tersebut ada penjaga  tilpon.  Jika  tilpon berdering, maka sang penjaga  tilpon itu  berlari-lari  ke sana ke mari untuk mencari orang yang dapat tilpon. Tetapi dengan senyumnya yang khas dia berkata, "Saya senang bisa olah raga setiap hari:  lari ke kamar, jalan ke kebon biara dan melewati gang-gang,"  sambil  krenggosan.
          Beberapa minggu yang lalu, saya sempat berjumpa  bapak tersebut dan  rupanya masih bekerja di biara tersebut. Dia berkata, "Saudaraku, sekarang saya sudah berhenti bertugas sebagai penjaga tilpon. Tilpon jarang berbunyi, bahkan bendahara –katanya – hanya membayar  abonement saja setiap bulan." Tanpa suara tilpon,  rumah menjadi  "sepi!"
          Begitulah suasana rumah, kantor atau biara-biara pada umumnya, "sepi!"  Bahkan saya mencoba  survey di Informa  maupun Ace Hardware di bilangan pertokokan di  Manado Town Square (MANTOS)  tepatnya di Jln Piere Tendean (Boulevard), untuk mencari tilpon rumah. Saya hanya mendapatkan dua buah tilpon yang teronggok di sudut lemari.  Dalam hati, saya berkata, "Luar biasa perubahan zaman,  counter tilpon genggam bertebaran bagaikan jamur di musim hujan sedangkan tilpon rumah kian jamurên (kena jamur, hampir sekarat).
          Saya pernah – suatu kali – melihat seorang turis marah kepada  guide yang sewaktu dirinya bercerita, guide itu malah bermain-main  HP. Barangkali  atau mungkin,  jika sedang berbicara, seseorang  tidak mau disambi (Bhs Jawa: sambil lalu, misalnya ketika orang sedang bercerita, namun mata dan tangannya pada gadged-nya).  Namun kini, sudah menjadi pemandangan umum bahwa di setiap Meja Makan  di Rumah maupun di Warung Makan dan Restoran ( atau refter; jika di biara-biara), masing-masing individu menyanding HP, BB atau Smartphone. Seseorang sepertinya takut kehilangan berita, yang sering disebut juga sebagai  fear of missing out atau fomophobia.  Ada sebuah peringatan dari sebuah Majalah, "Kalau dari bangun tidur sampai tidur lagi salah satu rutinitas kita  adalah mengecek peristiwa terkini di media sosial atau internet harap hati-hati. Mungkin kita mengalami yang namanya fomophobia."
          Dengan hadirnya tilpon genggam, dunia seolah-olah ada dalam genggaman. Pernah juga saya tinggal beberapa hari di sebuah biara: ada pastor dan bruder. Bruder ini mengeluh demikian, "Dulu, ketika dapat tilpon dari umat untuk memimpin Ibadat, Piko (Pemimpin Komunitas) langsung memberi mandat kepada kami secara bergilir. Sekarang umat langsung tilpon melalui HP kepada pastor yang gaul, yang pandai khotbah dan yang menarik. Sekarang, sepi!" Dia berkata lagi, "Sekarang jika tilpon biara berdering,  tidak ada yang mau angkat, karena masing-masing –mungkin – berkata dalam hati bahwa setiap orang memiliki HP. 
Rabu, 30 April 2014   Markus  Marlon
 

Sent by PDS 
http://pds-artikel.blogspot.com 

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 4/29/2014 10:12:00 PM