Minggu, 23 Juli 2017

92. KURA-KURA

The Song of The Bird 92.

Ia memimpin sebuah kelompok beriman. Semacam guru. Disegani, dihormati, bahkan disayangi. Tetapi ia mengeluh kepadaku, bahwa ia tidak mendapatkan kehangatan dalam persahabatan dengan sesamanya. Orang mencarinya untuk memohon bantuan dan minta nasehat. Mereka tidak mendekatinya sebagai seorang manusia biasa. Mereka tidak dapat bersantai bersamanya.
Bagaimana mungkin? Aku memandangnya: selalu seimbang, menguasai diri, anggun, sempurna. Maka aku berkata kepadanya: ‘Engkau harus membuat pilihan berat: hidup lumrah penuh gairah dan menjadi menarik atau hidup seimbang dan terus dihormati. Engkau tidak dapat menempuh kedua-duanya. ‘Ia pergi dengan sedih. Kedudukannya, katanya, tidak mengijinkannya untuk hidup lumrah penuh gairah, untuk menjadi dirinya sendiri. Ia harus memainkan sebuah peranan dan di hormati.

Jesus rupanya telah hidup lumrah, penuh gairah dan bebas. Tidak seimbang dan tidak dihormati. Pastilah perkataan dan perbuatanNya mengejutkan banyak orang terhormat.

Seorang kaisar Tiongkok mendengar tentang kebijaksanaan seorang pertapa yang hidup di pegunungan utara. Dikirimnya utusan-utusan ke sana untuk menawarkan jabatan Perdana Menteri Kerajaan kepadanya.
Sesudah berjalan berhari-hari, sampailah para utusan itu dipertapaan. Mereka menemukan sang pertapa sedang duduk di atas batu karang, setengah telanjang, sambil mengail ikan. Mula-mula mereka sangsi. Inikah orang yang oleh Kaisar dihargai begitu tinggi? Tetapi setelah ditanyakan di desa sekitar, ternyata memang dialah orangnya. Maka mereka berdiri di pinggir sungai dan dengan hormat memanggilnya.
Sang pertapa menyeberang sampai ke pinggir sungai, menerima hadiah-hadiah dari para utusan dan mendengar permintaan mereka yang aneh. Ketika ia mulai mengerti bahwa Kaisar menginginkan dia, sang pertapa itu, untuk menjadi Perdana Menteri kerajaan, maka ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan tertawa terkekeh-kekeh. Ketika ketawanya telah berhenti, ia berkata kepada para utusan yang keheran-heranan: ‘ Kamu lihat kura-kura yang sedang mengibas-ngibaskan ekornya di dalam lumpur itu?’
‘Ya, Tuanku,’ kata para utusan.
‘Nah, jawablah: Apakah benar bahwa setiap hari seluruh hamba istana berkumpul di kuil istana dan menyembah seekor kura-kura mati yang badannya disumpal kapuk dan ditempatkan di mesbah utama, seekor kura-kura dewata yang kulitnya dihiasi intan permata, mirah serta ratna mutu manikam?’
‘Memang benar, Tuanku,’ jawab para utusan.
‘Nah , apakah kiranya binatang kecil, yang mengibas-ngibaskan ekornya di lumpur itu mau berganti tempat dengan kura-kura dewata?’
‘Tidak, Tuanku,’kata para utusan.
‘Nah, pulanglah dan katakan kepada Kaisar, bahwa aku juga tidak mau. Aku lebih senang hidup di pegunungan ini daripada mati di dalam istana. Sebab, tak seorang pun dapat hidup dalam istana dan tetap sungguh-sungguh hidup lumrah penuh gairah.’