Selasa, 12 Agustus 2014

DAMAI


(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Mungkin kita pernah melihat atau menyaksikan sendiri bagaimana burung merpati terbang sambil membawa ranting  zaitun.  Ia bebas bergerak tanpa sekat pembatas geografis, suku, agama, budaya, status sosial dan bangsa. Dengan bebas ia membawa ranting zaitun sebagai simbol bahwa perdamaian itu universal (Bdk. Buku dengan judul  Ex  Latina  Claritas  tulisan Pius Pandor, hlm. 209).  Kita mungkin juga masih ingat Paus Yohanes Paulus II (1920 – 2005)  melepaskan 6 ekor burung  merpati di Asisi  pada tahun 1986. Kegiatan yang berlangsung  di Asisi bukan suatu  kebetulan, tetapi untuk menghormati  Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226)  sebagai pencinta damai (Bdk. The Canticle of The Creatures  atau  Canticle of The Sun  dengan syairnya, "Jadikanlah aku pembawa damai….").  Memang damai itu menjadi dambaan umat manusia, dan setiap orang bahkan bangsa senantiasa ingin mengusahakan perdamaian.
          Kata "damai" berasal dari bahasa Kawi, bědhama yang berarti: senjata, beliung atau kapak.  Kemudian muncul kata  bedhamen yang berarti: gencatan senjata, usia perang atau tenang kembali. Kini damai berarti tenang dan tidak ada perang. Mungkin kita ingat akan pepatah Latin yang berbunyi,  "Si vis pacem, para belum" – kalau ingin damai, siapkanlah peperangan. Ungkapan ini disanggah  Yohanes Paulus II, katanya, "Si vis pacem, para caritatem" – Jika mengingingkan perdamaian siapkanlah cinta kasih. Membaca kata damai, seolah-olah dalam hidup ini hanya menghendaki perang dan damai. Padahal sebenarnya, makna damai itu ada pelbagai macam. Ada orang merasa damai karena hidupnya "tidak bermasalah."  Orang ini juga merasa damai karena relasi dengan sesamanya  "aman-aman" saja.
          Jelaslah sudah bahwa makna damai itu tidak saja untuk melukiskan sebuah situasi yang tanpa perang, melainkan memiliki makna yang lebih luas. Agustinus (354 – 430) dalam  De Civitate Dei  XIX, 12 menegaskan bahwa perdamaian adalah apa yang dirindukan oleh setiap orang bahkan oleh setiap makhluk. Menurutnya ada tiga dimensi perdamaian yakni: dimensi personal yaitu berdamai dengan diri sendiri. Dimensi sosial yaitu berdamai dengan sesama baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.  Dimensi teologal yaitu berdamai dengan Allah.  Pius Pandor dalam bukunya yang berjudul  Ex Latina Claritas  menulis, "Tatanan perdamaian berawal dari adanya keselarasan antara bagian-bagian dalam diri manusia, kemudian bergerak menuju komunitas dunia  (civitas terrena) hingga memuncak pada komunitas surgawi atau komuntas Allah  (civitas Dei). Dalam komunitas surgawi itu manusia menikmati Allah dan satu sama lain dalam Allah (societas fruendi Deo et invicem in Deo).
          Hidup kita di dunia  ini berharap sekali untuk damai seperti yang dikatakan Agustinus. Rasa damai itu menjadi impian banyak orang.  Dalam Kitab Suci (baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru),  pax, syalom dan  damai seolah-olah menjadi primadona. Sastrawan Romawi Kuno, Ovidius (43 seb.M – 17/18 M)  dengan tegas menulis,  "Candida pax homines trux decet ira feras" – Yang  pantas bagi manusia adalah perdamaian, sementara yang pantas untuk binatang buas adalah kegarangan yang buas. Maka tidak heranlah jika Sang Raja Damai senantiasa dinanti-natikan, "Datanglah ya Raja Damai" (Bdk. Yes 9: 5). Semoga Kedamaian hati senantiasa menyertai kita. Amin.
 
Sabtu, 14 Desember 2013  Markus Marlon
(Sudah dipublikasikan di Majalah Warta Keluarga Chevalier)

Sent by PDS 
http://pds-artikel.blogspot.com 

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 12/15/2013 05:08:00 AM