Selasa, 12 Agustus 2014

GELISAH


(Menangkap  "Daun-Daun Sabda" Yang Melayang-layang)
 
     Ada seorang bapak muda yang gelisah sambil menghisap rokok di selasar Rumah Sakit. Ketika saya tanya, ternyata ia sedang menunggu kelahiran buah hatinya untuk yang pertama kali. Di tempat lain, ketika saya menunggu giliran di ruang tunggu dokter gigi, saya gelisah mendapat giliran, apalagi mendengar suara bor di ruang praktek sang dokter.  Ada juga seorang ibu sangat muda yang sudah menikah lima tahun, namun belum juga mengandung. Ibu muda itu sangat gelisah ketika mertuanya berkata, "Kapan saya bisa menimang cucuku?"  
          Ketakutan, kecemasan dan galau adalah pengalaman yang amat dekat bahkan melekat di hati setiap umat manusia. Namun pada hari ini,  kita membaca sabda Tuhan, "Jangan gelisah hatimu: percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku..." (Yoh 14: 1).
          Membaca sabda Tuhan dan melihat kenyataan hidup,  kita bertanya, "Bagaimana kegelisahan itu menyelimuti hati kita dan bagaimana agar kita bisa melenyapkan kegelisahan atau – paling tidak – menguranginya?"   Setelah saya renungkan, ternyata kegelisahan kita itu berkisar tentang relasi kita dengan diri sendiri dan sesama serta Tuhan. Dengan diri sendiri, kita gelisah karena – mungkin – ada penyakit yang berat sehingga setiap hari gelisah sambil berdoa, "Tuhan sembuhkanlah aku!"  Relasi kita dengan sesama ada "gangguan" yang menjadikan diri kita tertekan, jika harus "berurusan" dengannya dan relasi kita  dengan  Tuhan pun sering "tidak akrab" dan terasa kering.
          Barangkali yang paling menggelisahkan dalam hidup ini adalah relasi kita dengan sesama. Ada yang mengatakan bahwa dirinya senantiasa hati-hati dalam berbicara, takut jika menyinggung perasaan orang lain. Bahkan ada  suatu relasi yang nampaknya  adhem ayem (bhs. Jawa: tenang-tenang dan damai) tetapi ternyata di balik semua itu ada kegelisahan. Gelisah  sebab ada saling curiga dan tidak percaya, sehingga perjumpaan-perjumpaan yang mereka alami nampak hambar. Relasi dengan orang tersebut, seolah-olah di atas mereka tergantung "Pedang Damocles." Ungkapan "Pedang Damocles" ini didasarkan atas cerita Yunani Kuno yang menggambarkan ancaman yang tersembunyi dalam kehidupan yang tampaknya aman-aman saja. Ibaratnya, relasi kedua orang itu menunggu "bom waktu" meletus. Mengerikan! 
          Ada ungkapan kuno yang berbunyi, "Jika hendak hidup tenang, bersahabatlah dengan masalah." Kegelisahan pun sering kali kita anggap sebagai masalah atau problem, maka sudah layak dan sepantasnya kita bersahabat dengannya. Dalam pengalaman, ternyata apa yang sering kita gelisahkan tidak terjadi. Hal itu seperti bayang-bayang (shadow) kita dari terpaan matahari pada pukul 15.00 sore. Bayangan kita begitu besar, demikian pula kegelisahan kita.  Di sini Helen Keller (1880 – 1968) berkata, "Arahkanlah wajah kita menghadap matahari, maka kita tidak akan melihat bayang-bayang." Dalam arti ini, Keller mengajak kita untuk berpasrah kepada Tuhan.
          Kadang kala kita gelisah secara  berlebihan. Sedang sakit sedikit saja, pikiran sudah cemas dan gelisah. Sedikit badan tidak nyaman langsung ke dokter atau hendak makan ini dan itu takut nanti bagaimana gula darah, colesterol dan trigliserit. Orang Latin berkata,  "Non curatur, qui curat" – yang selalu risau (justru) tidak mudah sembuh.  Kita perlu bersahabat dengan kegelisahan dan perlu bersikap sumèlèh (bhs. Jawa: pasrah yang proaktif).
 
Jumat, 16 Mei 2014   Markus Marlon
  
Sent by PDS 
http://pds-artikel.blogspot.com 

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 5/16/2014 12:36:00 AM