Selasa, 12 Agustus 2014
JEMBATAN
(Bidikan Suatu Peristiwa dalam Perjalanan )
Beberapa hari ini, saya melihat situasi Manado sekitarnya dan hati terasa miris. Situasinya memang seperti yang dilaporkan dalam Komentar, Tribun Manado, Manado Post bahkan Kompas. Ketika saya melihat jembatan Dendengan Dalam (Dendal) yang rusak, maka teman saya pun berkata, "Ada lagi jembatan yang rusak yaitu di Maesa Perkamil, 2 jembatan kecil di Tuminting Mahawu dan satu lagi di Boullevard."
Jembatan – mau tidak mau – menjadi sarana yang sangat vital. Jika tidak ada jembatan, maka sebuah daerah bisa terisolir. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap perang – bahkan menurut teori strageti Perang Sun-Tzu (544 – 496 seb.M) – jembatan harus dirusak kalau mau mengisolir musuh. Tetapi kita sedih sebab banjir di Manado ini merusak jembatan-jembatan bahkan tanah longsor sehingga perjalanan yang hendak beraktivitas pun terganggu.
Kalau saya menyaksikan betapa ganasnya "air bah" itu, saya ingat akan lagu yang dinyanyikan oleh Simon dan Garfunkel yang berjudul, "A bridge over troubled water." Di sana ditulis, "And friends just can't be found. Like a bridge over troubled water. I will lay me down." Kadang hidup kita itu seperti di atas pusaran air yang deras. Serba takut dan kuatir. Dan memang beberapa hari ini di Manado dan sekitarnya gerimis, hujan bahkan lebat dan ini membuat banyak orang takut, cemas dan kuatir. Ini mengingatkan saya akan jembatan-jembatan yang telah rusak, "Semoga tetap kuat menahan arusnya aliran sungai."
Terkadang, seseorang jika mengalami masalah lebih suka "menyendiri dan mengutuki nasibnya." Ia mengurung diri dan membangun tembok atau benteng. Ia merasa bahwa dirinyalah orang yang paling sial dan menderita di dunia ini. Tetapi setelah, ia "membuat jembatan dan membangun relasi" atau berjumpa dengan orang lain yang hidupnya lebih susah, ia merasa bahagia dan bersyukur atas hidupnya (Bdk. Wejangan Paus Fransiskus di Casa Santa Marta, Jumat 24 Januari 2014, "Hendaklah orang-orang Kristiani membangun jembatan dialog seperti Daud, dan bukan tembok kebencian seperti Saul"). Kita juga ingat bagaimana orang-orang Jerman yang dipisahkan dengan Tembok Berlin ingin "membuat jembatan" dengan cara merobohkannya. Tembok itu pun runtuh pada 9 November 1989.
Jembatan dalam bahasa Latin diartikan sebagai pons-pontis. Kemudian kita mengenal istilah Pontifex Maximus (imam agung). Pons = jembatan + facere = membuat. Dalam perkembangannya, Pontifex berarti menjadi "Pembuat jembatan" yang menghubungkan hal duniawi dan hal surgawi. Dalam Gereja Katolik, mereka yang menjembatani persoalan "dunia" dan "surga" adalah Paus, Karinal, Uskup dan Imam.
Kita pun – atas salah satu – cara bisa menjadi jembatan bagi sesama kita. Terngiang-ngiang dalam pendengaranku sebuah lagu "Jembatan Merah" yang 10 tahun lalu saya menyaksikannya di kota Pahlawan – Surabaya, "Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung indah."
Sabtu, 25 Januari 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/09/2014 03:19:00 PM