Selasa, 12 Agustus 2014

IBU PERTIWI MERINTIH


(Bidikan Suatu Peristiwa dalam Perjalanan)
 
          Ketika hendak menuju ke Bandara  International  "Sam Ratulangi," saya melintasi  ring-road.  Dalam perjalanan tersebut,  saya memandang bukit-bukit  yang tanahnya mulai digerus dan diangkut oleh truk-truk entah ke mana. Bukit-bukit yang dulunya hijau permai itu,  kini  sudah ada beberapa yang menjadi dataran dan siap untuk dibangun gedung bertingkat yang indah dan megah.
          Sementara melamun, tiba-tiba saya ingat sebuah lagu yang sering terdengar waktu saya kecil,  "Ibu Pertiwi":
          Kulihat ibu pertiwi
          Sedang bersusah hati
          Air  matamu berlinang
          Mas intanmu terkenang
                   Hutan, gunung, sawah lautan
                   Simpanan kekayaan
                   Kini, ibu sedang susah
                   Merintih dan berdoa
 
          Saya membayangkan sosok seorang ibu yang sedih membayangkan putra-putrinya bersikap tidak berterima kasih kepadanya.  
          Pengorbanan seorang ibu – seperti yang sering kita dengar, "Kasih Ibu sepanjang Jalan"  itu – dapat kita lihat dalam pengorbanan dalam diri: burung  pelican (pelecanus). Burung pelican itu, jika melihat anak-anaknya kelaparan, ia akan terbang mencari makanan sampai mendapatkannya. Jika pada hari itu ia tidak  menemukannya, ia akan mencucukkan paruhnya pada temboloknya dan diberikannya kepada anak-anaknya untuk "sarapan."  Tidak heranlah jika dalam legenda, burung itu memiliki tembolok yang bercak-bercak merah karena mengeluarkan darah. Burung ini juga sebagai lambang pengorbanan sejak abad pertengahan, "Pelikan yang kudus, Yesus Tuhanku "  (Bdk. The Pelican in Christian art is symbol of charity and symbol of The Holy Eucharist).
          Kata  "pertiwi" itu berasal dari bahasa Sansekerta, pŗthivi  artinya: berani tampil ke depan. Karena hati yang ingin berkorban, seorang ibu  rela mengorbankan nyawanya untuk lahirnya manusia baru. Saya pernah mendengar seorang ibu yang rela mati demi bayi yang di kandungannya. Waktu itu, sang dokter berkata, "Kalau ibu meninggal sang bayi akan selamat dan hidup. Sebaliknya jika ibu memilih hidup, maka bayi itu akan meninggal. Mana yang ibu pilih?" Memang ini seperti makan buah  simalakama. Namun dengan tenang ibu pun berkata, "Dokter, biarkanlah  saya yang mati, sebab saya sudah 32 tahun menghirup udara segar, sedangkan anak saya ini belum merasakan nikmatnya udara segar!"
Luar biasa. Betapa besar pengorbanan sang ibu. Tetapi saat ini ibu pertiwi  sedang merintih sedih kesakitan.  Lima tahun lalu,  ketika saya mengadakan perjalanan di  P.T. Freeport – Indonesia  di Timika, saya menggunakan mobil seukuran  avanza. Tepat pada  bumper dipasang  bendera berkibar-kibar  warna merah. Saya bertanya kepada  driver, mengapa harus menggunakan bendera. Driver  pun menjawab, "Kalau tidak pakai bendera, mobil kita ini bagaikan semut, sebab mobil-mobil proyek yang mengeruk  "tanah" itu tinggi dan luasnya sebesar rumah yang tentunya  bisa menginjak mobil kita."  Saya kemudian membayangkan, mobil-mobil proyek yang rodanya berdiameter  2 meter lebih itu menuruni  "perut ibu pertiwi."
Tatkala bencana-musibah bertubi-tubi datang, kita terpekur merenungi hidup ini. Lautan mengamuk, gempa tektonik dan gempa vulkanik  merobohkan rumah-rumah penduduk, bukit-bukit yang tadinya hijau namun sekarang sudah gundul  emoh  menampung air sehingga terjadi banjir bandang. Ibu pertiwi sedang menangis  sesenggukan. 
Meratapi hidup dalam musibah ini, apakah "memang Tuhan sudah mulai bosan melihat tingkah  kita," seperti yang dinyanyikan Ebit G.Ade.  Keserakahan manusia dan bertindak semena-mena terhadap ibu pertiwi ternyata harus dibayar mahal. Korban berjatuhan di mana-mana.  Mahatma Gandhi (1869 – 1948) pernah berkata, "Bumi ini cukup untuk seluruh penduduk dunia, tetapi tidak cukup bagi beberapa segelintir orang yang serakah."  Sebelum itu, Horatius (65 – 8 seb.M), berkata,  "Semper avarus eget" – orang yang serakah selalu menuntut. Keruk gunung sana belum cukup, masih  "menuntut" yang lain. Keruk pasir di sungai sana belum cukup  "menuntut" keruk pasir di bawah jembatan, akhirnya  ambrol  dan  jebol.
Dalam perjalanan ini, saya merenungkan ibu pertiwi yang susah hati. Ibu pertiwi memang  sungguh kuat dan sabar serta  hebat. Maka tidak salah bila kita menyematkan nama ibu dengan sebutan:  alma mater, ibu kota, rumah induk dan masih banyak gelar yang tersemat padanya (Bdk. Gelar-gelar dalam diri Bunda Maria, "Maria Mediatrix, Maria Dolorosa, Maria Stella Maris  dan masih banyak lagi). Tiba-tiba tanpa sadar dari kejauhan saya mendengar lagu yang dilantunkan oleh  Ritta Rubby Harland:
          …Batu-batu cadas merintih kesakitan
          Ditikam belatimu yang bermata ayal
          Hanya untuk mengumumkan pada khalayak
          Bahwa di sana ada kibar benderamu
                   Oh alam, kurban keangkuhan
                   Maafkan mereka yang tak mengerti
                   Arti kehidupan.
 
Senin, 27 Januari  2014   Markus Marlon
 
N.B. Tulisan seri "Bidikan Suatu Peristiwa dalam     Perjalanan" akan diterbitkan.
  
Sent by PDS 
http://pds-artikel.blogspot.com 

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/10/2014 05:32:00 PM