Selasa, 12 Agustus 2014

LONGSOR


(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Minggu (02 Februari 2014), saya berjalan-jalan ke desa Kembes dan Rumengkor  (Kec. Tombulu – Minahasa – Sulawesi Utara). Dalam perjalanan itu, saya melihat beberapa tanah longsor.  Longsor memang datangnya selalu dari atas dan yang di bawahlah yang jadi korban. Dikabarkan bahwa bencana alam: longsor ini memakan korban nyawa.
          Kalau longsor untuk tanah, maka  lèngsèr  untuk seorang petinggi yang mau turun ke bawah.  Kata  lèngsèr  ini mulai dikenal sejak tahun 1998 melalui istilah,  "Lèngsèr keprabon, madeg pandhito"  yang berarti turun tahta menjadi bagawan atau orang suci. Istilah ini diungkapkan oleh Presiden Suharto (1921 – 2008) yang merasa bahwa dirinya menjadi  Begawan atau menjadi tempat minta nasihat atau menjai negarawan seperti Mahatma Gandhi misalnya (1869 – 1948). Dalam  Mahabaratha,  istilah  lèngsèr  keprabon  sudah diucapkan oleh Sentanu yang melihat putranya (Bisma) sudah dewasa maka ia meninggalkan kehidupan yang biasa atau menjadi resi serta tidak akan mengurusi perkara-perkara kerajaan – duniawi.  Lèngsèr  juga memiliki makna senja hari. Senja berasal dari Sansekerta,  "Samdhya"  yang berarti saat pertemuan siang dan malam. Kisah  Senjakalaning  Majapahit memang menceriterakan sebuah ke-lèngsèr-an dari kerajaan Majapahit.
          Kalau  lèngsèr  untuk tahta maka  lungsur  untuk pakaian bekas. Kalau seseorang yang – mungkin – lebih tinggi dan kaya akan memberikan pakaiannya yang masih layak pakai kepada orang yang di bawah atau lebih rendah derajatnya dinamakan  lungsur.  Orang yang menerima   lungsuran  itu tidak merasa sakit karena kejatuhan tetapi barangkali malah mendapatkan rejeki  nomplok.
Dalam tradisi kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada juga istilah  – maaf – lungsuran  istri dari sang Raja misalnya.  Selain  garwa padmi  (permaisuri), sang raja juga memiliki beberapa  garwa ampil  yang dalam tradisi kraton Ngayogyakarto Hadiningrat adalah sebutan dari para wanita yang dijadikan "istri" sementara . Nah, seandainya Raja ingin menghadiahkan  garwa ampil  itu kepada  adipati, maka  "lungsuran"  itu sebagai  triman  (bahasa Jawa artinya: pemberian atau anugerah).  Atau lebih jelasnya kita bisa mengunjungi Museum seni dan Budaya yang lokasinya di Kaliurang – Yogyakarta. Museum ini namanya Ullen Sentalu  yang mengisahkan sejarah kraton Yogyakarta dan Surakarta dan sebagian besar tentang kehidupan garwa ampil.
Dalam budaya  Jawa juga, kita bisa sejenak melihat kehidupan para petani sawah. Dalam bukunya yang berjudul,  "Kepribadian Indonesia Modern – Suatu penelitian antropologi Budaya,"  Dr. Boelaars meneliti tentang mentalitas manusia: peramu, petani ladang, petani sawah dan  pesisir.  Petani sawah hidupnya bergantung dari air yang di atas. Yang memiliki sawah di bawah hanya menerima  lungsuran  air dari atas. Hidup matinya petani sawah terbawah tergantung  kemurahan hati dari petani sawah yang di atas. Bayangkan jika pemilik sawah yang di atas (di sini disimbolkan sebagai  "Raja") menutup  aliran air, maka matilah rejeki yang di bawah. Di sini ia berharap sekali mendapatkan  lungsuran.
Kalau lungsuran itu untuk pakaian – maaf – istri dan air, maka  lingsér  menunjuk suasana malam yang tenang bahkan mencekam bagaikan hidup di dalam bawah bumi  (sapta pratala). Kata Lingsér  senantiasa digabungkan dengan  wêngi  yang berarti malam.  Lagu  Lingsér Wêngi  (larut malam) itu  sangat terkenal. Syairnya demikian:
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno.
 Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro.
 Aku lagi bang wingo wingo.
 Jin setan kang tak utusi
 Dadyo sebarang.
 Wojo lelayu sebet.  
 
Terjemahannya:  Larut  malam, dirimu akan lenyap.  Jangan bangun dari tempat tidurmu.  Awas jangan menampakkan diri.  Aku sedang dalam kemarahan besar.  Jin dan setan yang kuperintah. Menjadi perantara untuk mencabut nyawamu.
Lagu itu ditulis oleh  Sunan  Kali Jaga (diperkirakan lahir pada 1450). Ia menggunakan budaya Jawa untuk  syiar agama Islam. Syair yang  syiar itu supaya di waktu malam,  lingsér wêngi  kita tetap waspada dengan godaan.
 
Senin, 03 Februari 2014   Markus  Marlon
   
Sent by PDS 
http://pds-artikel.blogspot.com 

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/12/2014 03:09:00 PM