(Kontemplasi Peradaban)
Pernah suatu kali saya melawat orang yang sedang sakit di Rumah Sakit Fatmawati – Jakarta. Ia seorang businessman yang super sibuk (busy). Tidak ada waktu untuk tafakur maupun mawas diri dan merasakan indahnya cinta dari keluarga. Dari pagi – sebelum anak-anak bangun – hingga malam – setelah anak-anak tidur – businessman itu disibukkan dengan pelbagai kegiatan perusahaannya. Katanya kepadaku, "Duh, sudah enam hari ini saya tergolek di tempat tidur (bed-rest). Biasanya saya sibuk ke sana kemari. Tetapi selama ini saya baru merasakan betapa lucunya anak-anak saya. Ia setiap hari di sekeliling saya: mengambilkan minum, pijat kaki dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka di sekolah. Musibah yang saya alami ini membawa berkah yang melimpah ruah!"
Tanpa kita sadari, tidak jarang kita menyaksikan orang-orang yang menolak dan tidak ikhlas dengan musibah. Bahkan musibah dianggapnya sebagai hukuman ataupun kutukan. Harold S. Kushner dalam Derita Kutuk atau Rahmat, menuliskan bahwa pada awal mula ia terpukul, menyalahkan Tuhan ketika mendengar berita bahwa anaknya menderita penyakit progeria, proses ketuaan yang cepat. Ia melihat musibah sebagai musibah belaka. Atau dalam tradisi Jawa, jika seorang perawan yang sudah masanya nikah tetapi belum dipinang lelaki, ini bagaikan aib atau musibah bagi keluarga. Setiap merayakan weton (hari lahir seseorang dengan pasarannya: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon), maka sang ibu masuk kamar dan menangisi "hari yang indah itu". Ibu menangis karena semakin hari semakin dekat dengan musibah, sebab anaknya akan menjadi perawan tua, superadulta, yang berarti kelewat umur (Bdk. "Ayub mengutuki hari kelahirannya" – Ayb. 3: 1).
Untuk menggapai musibah ini, kita perlu berguru kepada pemain film yang berjudul "Lawrence of Arabia." Ia menganjurkan temannya untuk hidup di gurun bersama dengan bangsa Arab. Mereka percaya bahwa semua kata yang ditulis oleh Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah. Jadi ketika Al-Qur'an mengatakan, "Tuhan telah menciptakan kamu dan semua tindakanmu," mereka menerimanya secara harfiah. Itulah sebabnya mereka menerima dan menjalani hidup dengan tenang dan tidak pernah tergesa-gesa atau terjebak balam kemarahan yang tidak perlu ketika terjadi sesuatu yang salah. Dia bercerita bahwa kehidupan di padang gurun sangat mengerikan. Angin begitu panas sehingga ia merasa seolah-olah rambutnya akan dicopot dari kepala. Tenggorokannya kering. Matanya terbakar dan giginya penuh dengan pasir. Ia merasa seakan berdiri di hadapan oven yang terdapat di sebuah pabrik gelas. Ia hampir merasa gila. Tetapi orang-orang Arab itu tidak mengeluh. Mereka hanya mengangkat bahu mereka dan berkata, "Mektoub!" yang artinya, "Tadir, hal ini sudah tertulis!" (Bdk. Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam Mengatasi Rasa Cepas dan Depresi, hlm. 357). Saya menjadi ingat akan seorang teolog dan professor di Union Thelogical Seminary – Amerika yang bernama Karl Paul Reinhold Niebuhr (1892 – 1974). Dia menulis doa yang cukup terkenal, "Tuhan berilah aku kedamaian agar aku bisa menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah. Keberanina untuk mengubah hal yang bisa kuubah dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya."
Dalam memaknai musibah, kita juga dapat berguru kepada "orang-orang besar". Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) memiliki segalanya yang biasa dicari oleh setiap orang: kejayaan, kekuasaan dan kekayaan. Tetapi ironisnya, di pulau St. Helena – karena dibuang dan diasingkan – ia berkata, "Saya tidak pernah mengalami lebih dari enam hari bahagia dalam hidup saya." Sementara Helen Keller (1880 – 1968) – buta, tuli, bisu – mengatakan, "Saya telah menemukan bahwa hidup itu begitu indah!" Testimoni-testimoni mereka sebenarnya hendak memberikan penlajaran bagi kita bahwa apa pun terpuruknya hidup kita karena musibah, pasti ada jalan keluarnya. "Setiap pangkal ada ujungnya!" kata seorang bijak. Atau bahasa religiusnya, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya" (Pkh 3: 11).
Musibah seyogianya menjadi "sahabat." Ajahn Bram dalam Horeee ! Guru Cacing Datang, bercerita, "Jika kita menginjak kotoran anjing, jangan buru-buru bersihkan sepatu Anda! Bawalah pulang kotoran itu dan bersihkanlah di rumah Anda di bawah pohon mangga. Setahun kemudian, mangga Anda akan lebih manis, lebih ranum dan lezat dari sebelumnya. Ternyata, kotoran anjing yang paling bau dan paling kotor sekalipun bisa menjadi pupuk bagi mangga" (hlm. 162). Musibah seperti: nama jelek, difitnah dan dikhianati memang menyakitkan dan melumpuhkan diri kita. Tidak perlu kita "mengutuki" musibah yang kita alami. Kita juga bisa belajar dari pengalaman Ignatius dari Loyola (1491 – 1556) yang berbaring sakit di benteng Pamplona karena terluka. Untuk mengisi "waktu luangnya" ia minta bacaan roman. Namun yang didapatkan adalah buku Vita Christi (kehidupan Kristus) dan Flos Sactorum (Bunga rampai para Kudus). Awalnya ia tidak berkenan, tetapi akhirnya "menikmati" bacaan tersebut yang akhirnya membuat dirinya berbalik 180 ̊ menjadi pahlawan Kristus (Bdk. Sejarah Ordo Serikat Yesus tulisan A.M. Mangunhardjana SJ, hlm.14). Musibah membawa berkah!
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Musibah, bencana, tragedi, kecelakaan dan penderitaan bisa menjadi "pelajaran berharga" jika kita menerimanya dengan ikhlas hati. Dibutuhkan kesabaran dan tawakal. "Habis akal baru tawakal", sesudah berikhtiar, baru berserah kepada Tuhan.
Kamis, 30 Januari 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/11/2014 06:01:00 PM