Selasa, 12 Agustus 2014
BAGAN
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Ketika menunggu di Ruang Tunggu pada sebuah kantor di bilangan
perkantoran Palopo (Senin, 09 Juni 2014), saya melihat ada sebuah
bagan yang indah dalam ruang direktur. Bagan itu tertulis rapi, jelas
dan masing-masing kolom dan garis komando serta garis konsultatif
menunjukkan betapa teraturnya mekanisme kantor tersebut.
Tetapi ketika saya mencermati tulisan-tulisan dalam bagan
itu secara seksama, salah seorang staff direksi berkata, "Saudara!!
apa yang saudara baca itu semua hanya teori belaka dan dalam
prakteknya amburadul."
Jika kita memasuki sebuah kantor sekretariat (perusahaan,
sekolah-sekolah maupun Rumah Sakit), di sana terpampang bagan-bagan
yang - mungkin - berisikan: struktur organisasi, personalia, mekanisme
kerja atau statistik. Bahkan sering kita temui ada bagan yang sudah
kadaluwarsa dan entah karena apa belum juga diperbaharui juga. Melihat
itu semua, bagan-bagan tersebut ibarat manusia yang tidak memiliki roh
atau jiwa, zombie.
L'histoire se répète, sejarah berulang. Pada akhir abad ketiga, Kaisar
Diokletianus - lengkapnya Gaius Aurelius Valerius Diokletianus (245 -
312) - ingin menyelamatkan kerajaan Roma dari keruntuhan, maka ia
menciptakan sebuah organisasi baru, system atau bagan baru yang antara
lain untuk mengamankan penggantian tahta. Tetapi ketika ia
mengundurkan diri, mekanisme baru yang seharusnya melancarkan dan
menghaluskan kenaikan seorang kaisar baru ternyata macet dan
berkobarlah kembali perang-perang saudara, perebutan mahkota
kekaisaran (Buku yang berjudul, "Tanah Airku dari Bulan ke Bulan"
tulisan Dick Hartoko hlm. 52).
Dari kisah tersebut di atas, kita bisa memahami betapa pentingnya
semangat pelayanan dari seluruh komponen yang berkarya di tempat
tersebut. Kita sering mendengar adagium tentang leadership dalam
suatu perusahaan atau lembaga bunyinya, "Gauverner c'est prevoir" -
memerintah yakni melihat ke depan atau seperti yang dikatakan
Agustinus (354 -430), "Non tam praeesse quam prodesse" - bukan untuk
memerintah tetapi untuk melayani. "Memerintah" dalam hal ini muncul
dalam "garis komando." Seorang pemimpin yang hanya memerintah dan
memerintah, tentu bukan menjadi "roh" dari bagan tersebut. Bagan
hanya sebuah kulit atau wadah tetapi yang lebih penting adalah isinya.
Tanpa semangat dan jiwa, maka segala bagan dan wadah tersebut tetap
tinggal barang-barang mati saja. Skema-skema menghiasi dinding-dinding
rapat, "Tetapi bagaimana follow up-nya?" Tanpa jiwa dan semangat,
skema-skema itu tinggal kerangka tulang-tulang saja.
Saya terkesima dengan motto R.S. Bintang Laut Jl. K.H. M. Kasim no. 5
Palopo (Sulawesi Selatan) yang berbunyi, "Servire in Caritate" -
Melayani dalam semangat kasih. Setiap bagan yang saya baca dari setiap
unit karya terpampang tertulis suatu semangat: melayani dengan tulus
dan sense of belonging dan hospitality atau keramahtamahan.
"At home" itulah yang - barangkali - yang perlu dialami oleh setiap
staff dan karyawan. Orang merasa dihargai yang menurut orang Jawa,
"Diwongke!" Mekanisme kerja menggunakan pendekatan hati dan ini
merupakan jiwa atau roh dari bagan-bagan tersebut. Jika demikian maka
tempat kerja merupakan tempat yang sangat dirindukan. Orang akan
merasa nyaman dan damai tinggal di dalamnya.
Kamis, 19 Juni 2014 Markus Marlon
--
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 6/25/2014 06:31:00 PM