Selasa, 12 Agustus 2014

HIJAU


(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Ketika mata saya rasa penat atau lelah, sahabat saya berkata, "Jika mata lelah keluarlah sejenak dari kantormu  selama 10 menit dan pandanglah hamparan hutan yang hijau. Saya jamin, kedua matamu akan segar kembali." Dan memang benar, mata menjadi  fresh kembali. Kita semua tentu berharap memiliki bumi yang  ijo royo-royo. Tetapi sayang bahwa keserakahan manusia (pembalakan liar, penggundulan gunung tanpa memiliki HPH) sehingga bumi yang  ijo royo-royo itu kini menjadi kering kerontang.
          Bumi yang kita diami ini akan menjadi serasa taman firdaus jika kita merawat dan memeliharanya. Hutan sejak zaman dulu kala telah memberikan makna yang mendalam dalam kisah-kisah  Mahabaratha  dan  Ramayana. Sang dalang ber-suluk demikian,  "Alas gung liwang-liwung" yang artinya: hutan yang besar sekali dengan pepohonan yang amat besar. Para pangeran dalam dunia pewayangan akan menjadi bijaksana, ketika harus tinggal di hutan belantara (misalnya Rama, Shinta dan Laksmana tinggal di hutan Dandaka untuk  "menempa diri"). Maka tidak mengherankan jika Emil Salim (mantan menteri Lingkungan Hidup)  mengeluarkan statement, "Hutan memunyai kemampuan mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah."  
          Di seluruh nusantara ini, setiap daerah menghargai nilai-nilai kehidupan bersama dengan lingkungan. Orang diajak untuk menghormati tanaman-tanaman yang memberi kehidupan. Dongeng Kyai Jegod yang ditulis oleh Bakdi Soemanto dalam bukunya yang berjudul, "Cerita Rakyat dari Yogyakarta" mengisahkan supaya orang berhati-hati dalam menebang pohon. Di sini kita dapat belajar dari masyarakat setempat atau kearifan lokal. Di Jawa Barat kita kenal Legenda Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Ketika wafat, dari pusara Nyi Pohaci tumbuh beragam tanaman padi. Dari bagian kepalanya keluar jenis pohon kelapa. Dari hidung, bibir dan telinga muncul rempah-rempah dan sayur-mayur. Dari lengan dan tangan tumbuh pohon jati, cendana dan pohon-pohon berguna lainnya. Dari kedua pahanya tumbuh pohon-pohon bambu. Dari organ kelamin muncul pohon aren. Dari kaki tumbuh tanaman umbi-umbian. Dari pembuluh darahnya muncul saluran-saluran air. Kemudian dari bulu-bulu di tubuh Nyi Pohaci berjenis-jenis tanaman rumput (Bdk. Teologi Padi, sebuah tulisan Mutiara Andalas dalam  "Majalah Rohan" i no. 08 Agustus 2013).
          Dari dongeng dan legenda di atas, kita bisa belajar betapa ecology sangat bermurah hati kepada manusia. Ibu pertiwi menyediakan "segalanya" bagi putra-putrinya yaitu manusia yang mendiaminya. Lingkungan hidup yang menjadi tumpuan hidup kita harus kita "sayangi" dan kita tidak boleh semena-mena merusaknya. Bahkan mungkin kita bisa kaget, tatkala mendengar kata Rabu (Wednesday). Oleh orang Aglo-Saxon, hari Rabu diperuntukkan untuk menyembah Dewa Hutan. Wednesday = Woden's day = Hari penyembahan dewa  Woden atau  Wooden yang adalah Dewa Kayu atau dewa tumbuh-tumbuhan. Dewasa ini, setelah manusia banyak menderita – mungkin karena tindakan leluhur – muncullah slogan-slogan seperti, "back to nature" atau "go green" atau "3 R (Reduce, Reuse, Recycle). 
          Bencana dan musibah datang silih berganti. Banjir, angin taufan, gempa vulkanik dan tektonik, cuaca  ekstrim  serta  global warming  sedang dan sementara mengancam bumi kita.  Kita belum terlambat untuk membuat bumi ini semakin hijau. Hal yang perlu senantiasa diingatkan ialah bersikap ramah terhadap lingkungan. (Bdk. Kisah-kisah dari  St. Fransiskus Asisi dalam menyikapi alam semesta).  Energi ramah lingkungan atau energi hijau, green energy  adalah sebuah istilah yang menjelaskan apa yang dianggap sebagai sumber energi atau tenaga yang ramah terhadap lingkungan. Khususnya yang merujuk ke sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui dan tidak mencemari lingkungan.
Selasa, 11 Februari 2014    Markus Marlon
n.b. Sudah dipublikasikan.

Sent by PDS 
http://pds-artikel.blogspot.com 

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/17/2014 05:21:00 PM