( M o t i v a s i)
Zaman sekarang ini, banyak orang ke mana-mana membawa hand phone atau smart phone. Bahkan tidak jarang, ketika sedang mengadakan dialog penting pun, lawan bicara dengan asyiknya membalas sms ataubbm. Tentu saja teman dialog itu pun tersinggung, katanya, "Orang itu mendengar tetapi tidak mendengarkan."
Memang mendengarkan itu tidak mudah. Bisa jadi, kita menatap lawan bicara dan mendengar semua kata-katanya, mengangguk-angguk seolah mengerti, tetapi sebetulnya tidak menyerap dan mengolah informasi yang diterima. Mungkin orang itu sibuk dengan pikirannya sendiri atau ada orang yang bersiap-siap untuk membantah. Menjadi pendengar berarti seseorang diajak untuk rela menunggu yang lain berbicara. Pernah suatu kali saya menemani makan seorang artis termasyur. Ketika menemani makan, saya hanya mendengan dan berkata, "Oh iya!" atau "Wow luar biasa!" Selesai perjamuan, ia pun berjabat tangan dengan dan berkata, "Sungguh, saudara adalah ahli komunikasi dan pendengar yang luar biasa." Memang orang-orang zaman sekarang rindu untuk didengarkan. Ketika menyaksikan acara talkshow, kita jarang menyaksikan orang yang menunggu yang lain selesai bicara tanpa sibuk mempersiapkan apa yang akan dikatakan.
Kita hidup dalam dunia yang serba sibuk dan penuh dengan ingar bingar. Orang yang sibuk sangat dihargai sebaliknya, orang-orang yang "berdiam diri" tidak mendapatkan tempat sebab waktu sangat berharga, "Time is money." Bahkan waktu untuk hening merupakan saat yang mewah. Orang takut kepada keheningan serta kesunyian. Orang Eropa menyebutnya sebagai "horror vacui" yang berarti ketakutan pada yang hening. Karena "ketakutan" itulah, maka dibutuhkan orang-orang yang suka menjadi pendengar yang baik. Lihat saja bagaimana pemandangan orang-orang yang sedang duduk-duduk di ruang tunggu Bandara atau di Rumah Sakit, semua memegang hand phone atau smart phone untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Orang yang mendengarkan berarti dirinya siap untuk melaksanakan, seperti yang diucapkan Bunda Maria, "Fiat voluntas tua!" – Jadilah padaku menurut perkataanmu itu (Luk 1: 38). Kata obedience – ketaatan merupakan gabungan dari kata ab + audire (bahasa Latin) yang berarti mendengarkan pada. Setiap hari kita berelasi dengan orang lain. Dalam komunikasi tersebut, kita saling mendengarkan. Orang yang didengarkan pun sangat senang dan merasa diteguhkan. Memang, mendengarkan dengan tulus tidak semudah yang kita bayangkan. Orang Belanda punya suatu ungkapan yang pedas yakni, "oost-indisch doof" harafiahnya berarti: tuli gaya Hindia-Timur. Maksudnya menunjuk pada seseorang (biasanya jongos) yang sungguh-sungguh sadar bahwa dirinya dipanggil, tetapi karena segan akan ditambahi tugas-tugas lain, maka ia pura-pura tidak mendengar" (YB Mangunwijaya dalam bukunya yang berjudul Ragawidya).
Rasa segan dan enggan untuk mendengarkan juga sering dialami oleh orang tua yang hidupnya tergantung orang lain (anak-anaknya). Suatu kali seorang ibu duduk di depan rumah. Ibu itu bertanya kepada anaknya, "Itu suara apa?" Sang anak itu menjawab dengan ketus, "Suara burung gereja, mami!" Pertanyaan yang sama diucapkan oleh ibunya hingga tiga kali. Tentu saja anaknya marah.
Tiba-tiba ibu yang sudah tua itu pun berkata, "Nak, ketika kamu masih kecil, kau bertanya 10 kali tentang hal yang sama dan aku menjawabnya 10 kali dengan penuh kebahagiaan. Aku mendengarkan pertanyaanmu!"
Minggu, 16 Februari 2014 Markus Marlon
N.B: Sudah dipublikasikan
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/20/2014 03:58:00 PM
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/20/2014 03:58:00 PM