Selasa, 12 Agustus 2014
MARAH
( M o t i v a s i )
Pada suatu ketika, saya membaca sebuah tulisan di dinding sebuah Ruang Tamu dari seorang General Manager, "Semua yang dimulai dengan rasa marah akan berakhir dengan rasa malu." Tulisan itu adalah ucapan dari Benjamin Franklin (1706 – 1790).
Hampir semua kemarahan terjadi di luar rencana dan di luar kendali kita. Lalu kita bertanya, "Kalau kita memang tidak pernah menjadwalkan kemarahan, untuk apa kita marah?" Kemarahan menyebabkan hilangnya damai sejahtera. Kemarahan mengakibatkan kreativitas terhenti. Kemarahan menciptakan persahabatan menjadi hancur dan kemarahan mengganggu kesehatan.
Marah dan gusar serta temperament meledak-ledak yang ditujukan kepada satu orang atau beberapa orang akan berbahaya. Rasa marah tersebut membahayakan diri kita sendiri, melebih bahaya yang ditimbulkan pada orang-orang yang jadi sasaran kemarahan kita. Frank Minirth dalam bukunya yang berjudul "Mengejar Kebahagiaan" berpendapat bahwa kemarahan bisa menyebabkan penyakit kronis. Tulisnya, Pada kenyataannya, faktor tunggal yang paling sering menyebabkan serangan jantung pada orang dewasa Amerika bukannya kolesterol yang tinggi, merokok atau sejarah jantung keluarga. Sebaliknya faktor tersebut adalah sikap kronis terhadap interaksi yang penuh permusuhan (marah) dengan orang lain" (hlm. 48).
Marah yang dalam bahasa Inggris anger itu diturunkan dari bahasa Latin angere yang berarti: mencekik atau membuat seseorang tidak dapat bernafas. Memang, orang yang sedang marah itu nafasnya pendek-pendek dan mukanya menjadi merah (Bdk. Tokoh wayang Baladewa yang memiliki soca merah karena suka marah). Vergilius (70 seb. M – 19 seb. M) dalam bukunya yang berjudul "Aeneas" menulis, "Furor arma ministrat" – kemarahan itu (selalu) mengarah untuk memakai senjata. Terjemahan bebasnya: kemarahan cenderung membuat orang ingin berkelahi.
Kemarahan bisa kita kendalikan. Nabi Muhammad (570 – 632) pernah bersabda, "Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika ia marah." Di sinilah kita perlu mengelola emosi kita dan jangan ijinkan rasa marah menjadi tuan dalam diri serta jangan tunduk pada emosi-emosi negatif. Strategi mengatasi kemarahan yang paling efektif adalah menundanya dengan pergi meninggalkan penyebab kemarahan tersebut.
Kamis, 20 Februari 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke Artikel pada 2/24/2014 02:26:00 PM