Seorang wanita
dalam usianya yang tiga puluhan, sakit dan lemah, mendatangi dokter demi dokter
di tempat praktek mereka. Walaupun para dokter yang kompeten sudah berusaha,
kondisinya terus merosot dengan perlahan–lahan. Entah ada sesuatu yang salah
dengan dirinya atau psikosis yang mendorongnya secara obsesif datang dari dokter ke dokter sambil selalu mencari
penentraman ilusif akan kesehatan, kenyataannya kondisi dia tetap semakin
buruk, bukan semakin baik.
Kemudian ia
mendapatkan suatu bentuk lain pengobatan. Ia mendengar seorang pembicara
mendiskusikan kekuatan pikiran di dalam proses penyembuhan.
Untuk pertama
kalinya, wanita ini menjadi sadar bahwa penyembuhan spiritual adalah bentuk ilmiah dari kegiatan berpikir, bukan hanya dirasakan
di dalam masalah psikologis, tetapi juga di dalam kondisi fisik yang aktual.
Ditunjukkan
bahwa ‘kekuatan hidup’ dapat distimulasi atau ditekan oleh sikap pikiran,
termasuk iman dan keyakinan.
Ceramah
tersebut tidak diberikan oleh ‘penyembuh kebatinan’ tetapi oleh ahli yang
terlatih secara ilmiah yang telah membuat studi tentang efek pikiran pada
keadaan mental dan fisik.
Ini adalah
pada hari–hari awal ilmu pengetahuan yang telah menjadi amat canggih dan
umumnya dihormati di bawah istilah kedokteran psikomatik, berkenaan hubungan
antara pikiran dan tubuh.
Wanita ini
amat terkesan oleh konsep ini yang merupakan hal baru baginya. Manfaat
pengobatannya diperlihatkan melalui fenomena yang terjadi sesudah pertemuan
tersebut. Sambil berjalan sepanjang jalan bersama suaminya, ia tiba–tiba
berhenti di tempat tenang di bawah pepohonan.
Dengan suara
keras ia membuat penegasan : “Saya menegaskan bahwa saya diciptakan oleh Tuhan,
dan bahwa Ia yang menciptakan juga dapat menciptakan kembali. Saya menegaskan
bahwa kekuatan hidup sekarang mengalir ke seluruh tubuh fisik saya. Saya selama
ini menghalanginya dengan pikiran sakit saya. Saya menegaskan bahwa mulai saat
ini saya akan berpikir sehat, percaya sehat, bertindak sehat. Vitalitas dan
kegembiraan sekarang beroperasi di dalam keseluruhan diri saya. Seluruh
organisme fisik saya dibebaskan untuk berfungsi sebagaimana yang dimaksudkan
oleh Sang Pencipta. Saya menegaskan dan menegaskan kembali kekuatan hidup yang
dinamis.”
Walaupun ia
tidak mengalami perubahan dalam semalam, ia benar–benar mulai memperlihatkan
sikap yang baru dan lebih sehat. Pola berpikirnya diperiksa dengan cermat. Ia
berkonsultasi dengan dokter dengan cara yang biasa untuk check–up. Fobia
obatnya berkurang hingga ia menggunakan obat dengan resep dokter secara
bijaksana. Perubahan tersebut pasti berhasil, karena dilaporkan bahwa wanita
itu menjalani kehidupan yang aktif dan sehat, meninggal dalam usia sembilan
puluh tahun karena penyakit lazim yang disebut usia lanjut.
Kata–Kata Kita dan Pengaruhnya Pada Kehidupan
Kita pasti
pernah mendengar seseorang mengatakan, “Kamu akan memakan buah dari
perkataanmu,” atau “Mulutmu harimaumu,” atau mungkin karena sekarang era media
sosial kita tidak memakai ‘mulut’ tetapi ‘jari–jari’ untuk membuat sebuah
komentar.
Sepertinya
kalimat tersebut tidak terlalu berarti, padahal kenyataannya kita memang
memakan buah dari kata–kata kita. Apa yang kita katakan tidak hanya
mempengaruhi orang lain, tapi juga diri kita sendiri.
Seperti Tuhan
menciptakan alam semesta dan segala isinya dengan ‘SabdaNya’, kita sebagai
makhluk yang paling sempurna, diwarisi kemampuan menciptakan dunia kita
masing–masing melalui perkataan kita.
Kata–kata akan
sangat indah apabila digunakan dengan tepat. Kata–kata dapat menumbuhkan
percaya diri, menguatkan, dan memberi semangat kepada yang mendengarnya.
Kata–kata yang tepat diucapkan dan pada saat yang tepat dapat merubah
kehidupan.
“Seseorang
bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan
yang tepat pada waktunya!” Tulisan
Raja/Nabi Sulaiman – 900 SM.
Kita dapat
meningkatkan kegembiraan kita sendiri dengan mengatakan kata–kata yang tepat.
Kita juga dapat membuat diri kita kecewa dengan mengatakan hal–hal yang tidak
perlu tentang masalah kita atau hal–hal pada masa lalu yang menyakitkan,
mungkin hubungan yang tidak berjalan baik dengan orang lain.
Misalnya, kita
pernah mengalami situasi yang mengecewakan dan hal itu terjadi justru dengan
teman dekat kita, dan kalau kita perhatikan di saat kita membahas tentang hal
yang mengecewakan ini, akan sangat susah bagi kita untuk melepaskannya dari
kepala kita sampai kita siap pergi tidur hari itu.
Akhirnya
kesadaran akan membantu kita dan kalau kita ingin hal yang mengecewakan ini
berakhir, maka secara mental kita harus menghentikannya didukung secara verbal,
kita tidak perlu mengulanginya dengan kata–kata kita.
“Apasih yang
sebetulnya terjadi?” kita dapat menjawab,”Akan lebih baik bagiku kalau aku
tidak membicarakan hal ini.”
Apakah yang
akan terjadi ketika kita berbicara?
Kata–kata yang
keluar dari mulut kita, akan masuk ke telinga kita juga telinga orang lain, kemudian kata–kata itu
bisa memberi kita kebahagiaan atau kesedihan, kedamaian atau kekecewaan,
tergantung jenis kata–kata yang kita ucapkan.
Kehendak Sang
Pencipta adalah agar roh kita bersinar dan bebas agar dapat berfungsi dengan
baik, bukannya murung dan tertekan. Kita dapat belajar memilih hal–hal yang
baik, sehat dan benar masuk ke dalam pikiran kita dan menolak hal yang
buruk/salah.
Ada
pepatah,”Kemana pikiran kita pergi, disitulah tubuh kita akan ikut,” dan bisa
juga,”Kemana pikiran kita pergi, disitulah mulut kita akan ikut.”
Ketika kita
memahami pengaruh/kekuatan kata–kata dan menyadari kalau kita dapat memilih apa
yang kita pikirkan dan katakan, kita dapat merubah hidup kita.
Rencana untuk Mengatakan Hal yang Positif
Telah
diajarkan kepada kita untuk memperbaharui budi/pikiran kita tiap pagi.
“Inilah hari
yang dijadikan Tuhan, marilah kita bersorak–sorak dan bersukacita karenanya!” Tulisan Raja/Nabi Daud – 1000 SM.
Memiliki
pengharapan yang baik akan masa depan hidup kita, dan atas dasar itu mengatakan
hal yang baik adalah salah satu hal yang menyehatkan yang dapat kita lakukan,
Kita bahkan
tidak perlu mengucapkan dengan kata–kata pada orang lain untuk meningkatkan
sukacita kita. Cukup dengan mengucapkan dan meyakini dalam hati kita sudahlah
cukup untuk dapat membuat kegembiraan/kebahagiaan muncul.
Mengatasi Ketakutan dengan Iman
Setiap orang
menghadapi dan akan menghadapi saat–saat yang menakutkan. Kita perlu berada–mungkin
selalu berada dalam sebuah kondisi dimana, ketika hal yang menakutkan itu
datang, kita bisa dengan segera menjalaninya di dalam iman percaya dan dapat
berkata,”Saya dapat melakukannya/menghadapinya apa pun itu, bersama Tuhan yang
akan memberiku kekuatan. Saya tidak akan takut.”
Ketika kita
melepaskan kekuatan iman/percaya kita, kita dapat menerimanya kekuatan yang
dari Tuhan, karena kita mengatakan bahwa kita percaya kalau Tuhan akan
memberikan kekuatan untuk melalui masa–masa yang menakutkan dan terbang di
atasnya. Tetapi tanpa percaya kita akan hidup dalam ketakutan.
Beberapa
contoh ketakutan yang sering terjadi :
1. Kekhawatiran
“Sebab itu
Tuhan menanti–nantikan saatnya hendak menunjukkan kasihNya kepada kamu, sebab
itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil,
berbahagialah semua orang yang menanti–nantikan Dia!” Tulisan
Asha’ya – 700 SM.
Ada saat di
mana kita merasa bahwa sesuatu hal yang buruk akan terjadi. Malapetaka apa yang
akan terjadi setelah ini?
Jika perasaan
seperti ini terus menguasai, bukan sikap berjaga–jaga/antisipasi yang terjadi,
tetapi kekhawatiran.
Maka kita
ditantang oleh Asha’ya yang menulis kira–kira 27 abad yang lalu, agar kita
mengharapkan berkat. Berkat apa yang kira–kira akan kita terima. Kebiasaan
untuk mengharapkan hal baik terjadi dan bukan mengkhawatirkan hal yang buruk,
karena Tuhan ingin memberikan hal yang baik pada kita.
2. Penolakan
“Apabila orang–orang
benar itu berseru–seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala
kesesakannya. Tuhan itu dekat kepada orang–orang yang patah hati, dan Ia
menyelamatkan orang–orang yang remuk jiwanya.” Tulisan Raja/Nabi Daud – 1000 SM.
Penolakan
memang menyakitkan, tetapi kita perlu belajar dan mengetahuinya, bahwa kita
tidak bertanggung jawab untuk membuat tiap–tiap orang menyukai kita. Tulisan
Daud 30 abad yang lalu meyakinkan dan menantang kita untuk dapat melakukannya.
Kita bertanggung jawab untuk menjadi diri kita sendiri dan menyatakannya kepada
dunia, sesuai dengan karakter dan keunikan diri kita masing–masing. Tuhan
memberikan kita individualitas. Kita tidak perlu berpura–pura agar orang lain
menyukai diri kita. Jadilah diri kita sendiri.
3. Hidupku tidak akan berubah
baik
Mudah bagi
kita untuk berpikir,”Saya tidak akan pernah berubah; keluargaku tidak akan
pernah berubah; saya tidak akan pernah punya uang yang cukup; saya tidak akan
pernah menikah; saya tidak akan pernah hidup damai; saya tidak akan pernah bisa
menikmati hidupku..” Sebetulnya, semua hal, keadaan, situasi–selalu mengalami
yang namanya perubahan, hanya satu hal yang tidak berubah, yaitu Tuhan.
Ketika pikiran
seperti ini merasuk ke dalam benak kita, kita perlu membuka mulut kita dan
mulai mengatakan hal yang seharusnya. Jadi, ketika si jahat berkata bahwa hidup
kita tidak akan berubah, kita perlu berkata, “Tuhan memiliki rencana yang indah
di dalam hidupku, rancangan yang penuh dengan damai sejahtera, dan perubahan
yang Dia miliki akan terjadi padaku.”
4. Kegagalan
Saya teringat
saat kerap kali saya mengalami kegagalan dan ketakutan akan gagal di dalam
hidup saya, tetapi saya tetap melangkah. Ada kalanya kita mengusahakan sesuatu
kemudian bisa berhasil dan ada kalanya gagal. Ketika hal itu terjadi pada diri
kita, kita perlu mengebaskan debu kegagalan yang masih menempel dan terus
melangkah maju. Janganlah rasa takut untuk membuat kesalahan[merasa
jangan–jangan ini langkah yang salah] membuat kita berhenti melangkah.
Kita akan
mengalami kegagalan dalam hidup kita, tetapi tidak seharusnya kita menjadi
pribadi yang gagal. Terjatuh tidak membuat kita gagal, kegagalan terjadi ketika
kita berhenti berusaha.
5. Disakiti
Kita bisa
pastikan, karena kita hidup bersama orang lain, kita akan disakiti [sengaja
maupun tidak sengaja]. Tetapi jangan biarkan ketakutan ini menguasai Anda.
Ketika kita mengalami ketakutan semacam ini katakan,”Tuhan, saya akan
mempercayaiMu. Ketika saya berusaha untuk berhenti melindungi diriku, Engkau
yang akan melindungiku.”
Ketika kita
berhubungan dengan banyak orang, dan dari macam–macam tingkatan, kita akan
tersakiti. Tetapi tahu atau tidak? Yang Maha Penyembuh hidup di dalam
hati/benak/pikiran kita. Segera setelah kita merasa tersakiti, kita dapat segera
datang padaNya,”Tuhan, saya berharap Tuhan menyembuhkan luka batinku ini,
tetapi aku menolak untuk hidup dalam ketakutan.”